Thursday, September 25, 2014

RELAKSASI OTOT PROGRESIF DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR LANSIA



RELAKSASI OTOT PROGRESIF DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR LANSIA
Rahmadona Fitrisyia*, Ismayadi**
Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara


Abstrak
Tidur merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi bagi setiap individu yang terjadi secara alami dan memiliki fungsi fisiologis dan psikologis. Salah satu tindakan non farmakologis untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia adalah dengan melakukan Relaksasi Otot Progresif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur lansia. Desain penelitian adalah quasy-eksperiment dengan pendekatan one group pre test – post test design. Sampel penelitian ini adalah lansia sebanyak 19 orang yang diambil secara Simple Random Sampling. Analisa data dilakukan dengan Uji t-dependent. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p=0,000 maka dapat disimpulkan bahwa relaksasi otot progresif mempunyai pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada perawat anak agar dapat menggunakan relaksasi otot progresif sebagai intervensi nonfarmakologis dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
Kata kunci: Relaksasi, Otot Progresif, Tidur, Lansia

PENDAHULUAN
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang terjadi secara alami dan memiliki fungsi fisiologis dan psikologis untuk proses perbaikan tubuh. Jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang baik maka akan menimbulkan kerusakan pada fungsi otot dan otak karena tidak adekuatnya kebutuhan tidur (Stanley, 2006). Pada kelompok lanjut usia (empat puluh tahun) dijumpai 7 % kasus yang mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari). Hal yang sama dijumpai pada 22% pada kelompok usia 75 tahun. Demikian pula, kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh terbangun lebih awal. Selain itu, terdapat 30% kelompok usia tujuh puluh tahun yang banyak terbangun di waktu malam hari. Angka ini ternyata tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun (Bandiyah, 2009).
Tingginya masalah tidur yang terjadi pada lansia memerlukan penanganan yang sesuai untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur. Pemenuhan kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda dan terlihat dari kualitas tidurnya. Kebutuhan kualitas tidur ada yang terpenuhi dengan baik dan ada yang mengalami gangguan (Hidayat, 2006). Pemenuhan kebutuhan tidur terlihat dari parameter kualitas tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk tidur, frekuensi terbangun dan beberapa aspek subjektif, seperti kedalaman tidur, perasaan segar di pagi hari, kepuasan tidur serta perasaan lelah siang hari (Bukit, 2003). Peningkatan pemenuhan kebutuhan tidur dapat dilakukan dengan mengajarkan cara-cara yang dapat menstimulus dan memotivasi tidur. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah relaksasi. Relaksasi merupakan suatu bentuk teknik yang melibatkan pergerakan anggota badan dan bisa dilakukan dimana saja (Potter & Perry, 2005). Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation), pernapasan diafragma, imagery training, biofeedback, dan hipnosis (Miltenberger, 2004).
Terapi non farmakologis yang termurah sampai saat ini, tidak memerlukan imajinasi, ketekunan atau sugesti, tidak ada efek samping, mudah untuk dilakukan adalah relaksasi otot progresif. Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik untuk mengurangi ketegangan otot dengan proses yang simpel dan sistematis dalam menegangkan sekelompok otot kemudian merilekskannya kembali (Marks, 2011). Relaksasi ini diperkenalkan oleh Edmund Jacobson pada tahun 1938 (Conrad dan Roth, 2007). Selain untuk memfasilitasi tidur, relaksasi otot progresif juga bermanfaat untuk ansietas, mengurangi kelelahan, kram otot serta nyeri leher dan punggung (Berstein, Borkovec, dan Steven, 2000). Penelitian yang pernah dilakukan mengenai relaksasi otot progresif, yaitu Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kebutuhan istirahat tidur klien di ruang VIP-B RSUD Bima diperoleh hasil tidur baik dan tidur cukup sebanyak 8 orang (40%) setelah dilakukan tindakan dan sebelum dilakukan tindakan tidak ada yang memiliki tidur baik dan tidur cukup (0%). Sedangkan yang tidur kurang, naik menjadi 12 orang (60%) dibandingkan sebelum diberikan tindakan berjumlah 20 orang (100%)(Haris, 2010). Penelitian dari Roosevelt University Stress Institute menyatakan bahwa Relaksasi otot Progresif lebih efektif dalam menimbulkan relaksasi fisik daripada yoga (Ghoncheh, 2004)
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
Hipotesis alternatif dari penelitian ini adalah ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen dengan pendekatan one group pre-test – post test design dengan melibatkan satu kelompok subjek, yaitu kelompok intervensi tanpa kelompok kontrol. Sebelum intervensi diberikan kuesioner yang telah ditetapkan yaitu pretest dan sesudah intervensi diberikan post test. Setelah intervensi selesai dilakukan, maka dilihat perubahan pemenuhan kebutuhan tidur yang dialami responden. Populasi berjumlah 162 orang lansia. Pengambilan sampel dengan Simple Random Sampling.
Untuk mengetahui apakah ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia pre dan post pemberian intervensi maka uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik paired t-test (t-test dependent) Sebelum melakukan uji t-test, peneliti melakukan uji normalitas dengan metode analitis secara komputerisasi menggunakan Shapiro Wilk karena sampelnya ≤ 50 dengan nilai kemaknaan (p > 0,05).
Pembahasan

Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia berdasarkan Parameter Kualitas Tidur Sebelum dilakukan Relaksasi Otot Progresif
Sebelum diberikan relaksasi otot progresif pada lansia maka dilakukan pre test terlebih dahulu. Pada hasil pre test terhadap parameter kualitas tidur diperoleh hasil yaitu mean total dari skor pemenuhan kebutuhan tidur lansia, yaitu 14,63 (SD=1,86). Hal ini sesuai dengan pendapat Akmal (2012) yang menyatakan Lansia menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur untuk memulai tidur, frekuensi terbangun menjadi meningkat sehingga fragmentasi tidur karena seringnya terbangun mengalami peningkatan. Lansia juga cenderung mengalami keletihan, mengantuk, penurunan efisiensi tidur dan mudah jatuh tidur pada siang hari (Lueckenotte, 2000). Pendapat lain juga didukung oleh Winanto (2009) bahwa lansia perlu memperhatikan kualitas tidurnya. Kualitas tidur tidak hanya tergantung pada jumlah, tetapi bergantung pada pemenuhan kebutuhan tubuh untuk tidur. Lamanya waktu tidur tergantung dari individunya sendiri dan yang menjadi salah satu indikator terpenuhinya kebutuhan kualitas tidur seseorang adalah kondisi saat bangun tidur. Seseorang yang segar artinya kebutuhan tidurnya sudah tercukupi.
Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia berdasarkan Parameter Kualitas Tidur Setelah dilakukan Relaksasi Otot Progresif
Hasil yang didapatkan dari mean total skor pemenuhan kebutuhan tidur mengalami peningkatan yaitu 22,26 (SD=1,82). Hasil penelitian ini didukung oleh Prayitno (2002) yang menyatakan bahwa terapi relaksasi otot progresif harus dilakukan dengan baik karena dapat menciptakan keadaaan yang relaks dan efektif dalam memperbaiki tidur. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Widastra (2009) bahwa beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kebutuhan tidur secara kualitas dan kuantitas adalah metode Bootzin dan metode relaksasi, namun pendekatan relaksasi yang paling banyak dipakai adalah relaksasi otot progresif.
Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Mc Guigan (2007) bahwa setelah
pemberian relaksasi otot progresif pada 33 pasien mengalami peningkatan kualitas, kedalaman, dan durasi tidur yang disertai penurunan rasa mengantuk di pagi hari. Penelitian lain dari Marks (2011) menyatakan bahwa Relaksasi otot progresif efektif meningkatkan kualitas tidur jika dilakukan selama secara teratur dalam waktu 6 minggu. National Center for Complementary and Alternative Medicine (2010) juga menyebutkan efek dari relaksasi otot progresif membantu lansia dalam meningkatkan kebutuhan tidurnya dan menurunkan gangguan tidur yang cenderung meningkat pada lansia. Relaksasi ini lebih baik dilakukan dibandingkan teknik meditasi. Dengan demikian intervensi keperawatan dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur dapat dilakukan dengan melakukan teknik relaksasi yaitu relaksasi otot progresif sehingga dapat memenuhi kebutuhan tidur secara kualitas kepada lansia (Berstein, Borkovec, dan Steven, 2000).
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini membuktikan bahwa relaksasi otot progresif merupakan salah satu bentuk relaksasi yang digunakan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia. Oleh sebab itu, relaksasi ini dapat dijadikan perawat sebagai intervensi dalam pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Akmal, S.A. (2012). Diagnosis dan Penatalaksanaan Insomnia Pada Lanjut Usia. Juni 11, 2012 dari http://infopenyakitdalam.com

Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik.Yogyakarta: Nuha Medika

Berstein,A.D.Borkovec.Stevens, et al. (2000).The Journal : New Direction in Progressive Relaxation Training a Guidebook for Helping. USA: Praeger Publisher.USA

Bukit, E. K. (2003).Thesis : Sleep Quality and Factors Interfering With Sleep Among Hospitalized Elderly in Medical Units, Medan, Indonesia. Prince of Songkla University

Conrad, A. & Roth, W.T. (2007). Muscle Relaxation for Anxiety Disorder: It works but how?. The Journal of Anxiety Disorder, 243-264. Oktober 12, 2011. http://www.laboratoriosilesia.com

Hidayat, A. A. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika

Ramdhani, N.Aulia. Adhyos. (2008). Pengembangan Multimedia Relaksasi. November 27, 2011. http://www neila.staff.ugm.ac.id

Wednesday, September 24, 2014

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Bandung

Berlibur ke Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda merupakan kawasan konservasi yang terpadu antara alam sekunder dengan hutan tanaman yang terletak di Kota Bandung, Indonesia. Luasnya mencapai 590 hektare membentang dari kawasan Dago Pakar sampai Maribaya.
Letak Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda berada di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, pada ketinggian antara 770 mdpl sampai 1330 mdpl. Di atas tanahnya yang subur terdapat sekitar 2500 jenis tanaman yang terdiri dari 40 familia dan 112 species. Pada tahun 1965 luas taman hutan raya baru sekitar 10 ha saja, namun saat ini sudah mencapai 590 ha membentang dari kawasan Pakar sampai Maribaya. Saat ini pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Kehutanan Pemda Provinsi Jawa Barat (sebelumnya berada di bawah naungan Perum Perhutani).
"Pengalaman selama berjalan, saya merasakan ketentraman sendiri, setiap langkah saya di manjanjakan dengan pemandangan alam yang sangat indah, suara burung berkicau, gemericik air menghiasi setiap langkah saya, apalagi di tunjang dengan fasilitas track yang sangat baik. Makanya selain dijadikan tempat wisata, Hutan Raya (THR) Ir. H. Djuanda ini juga biasa digunakan sebagai tempat untuk berolah raga di pagi hari oleh masyarakat sekitar dengan cara berjalan menyusuri track, banyak juga pengendara sepedah dari berbagai kelompok yang memanfaatkan track taman yang cukup menantang. Sedikit tambahan, ditempat ini juga terdapat berbagai jenis flora dan fauna"




Sekilas sejarah Taman Hutan Raya Ir.H.Djuanda

Taman terbesar yang pernah dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda berbentuk hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Gunung Pulosari. Perintisan taman ini mungkin sudah dilakukan sejak tahun 1912 bersamaan dengan pembangunan terowongan penyadapan aliran sungai Ci Kapundung (kemudian hari disebut sebagai Gua Belanda), namun peresmiannya sebagai hutan lindung baru dilakukan pada tahun 1922.
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 secara otomatis status kawasan hutan negara dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Djawatan Kehutanan.
Kawasan hutan ini dirintis pembangunannya sejak tahun 1960 oleh Mashudi (Gubernur Jawa Barat) dan Ir. Sambas Wirakusumah yang pada waktu itu menjabat sebagai Administratur Bandung Utara merangkap Direktur Akademi Ilmu Kehutanan, dan mendapat dukungan dari Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) dan Soejarwo (Dirjen Kehutanan Departemen Pertanian). Pada tahun 1963 sebagian kawasan hutan lindung tersebut mulai dipersiapkan sebagai Hutan Wisata dan Kebun Raya. Tahun 1963 pada waktu meninggalnya Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja (Ir. H. Djuanda) , maka Hutan Lindung tersebut diabadikan namanya menjadi Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda untuk mengenang jasa-jasanya dan waktu itu pula jalan Dago dinamakan jalan Ir. H. Djuanda.
Untuk tujuan tersebut, kawasan tersebut mulai ditanami dengan tanaman koleksi pohon-pohonan yang berasal dari berbagai daerah. Kerjasama pembangunan Kebun Raya Hutan Rekreasi tersebut melibatkan Botanical Garden Bogor (Kebun Raya Bogor) , dengan menanam koleksi tanaman dari di Bogor.
Pada tanggal 23 Agustus 1965 diresmikan oleh Gubernur Mashudi sebagai Kebun Raya Hutan Rekreasi Ir. H. Djuanda yang kemudian menjadi embrio Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang dikelola oleh Dinas Kehutanan (dulu Djawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat).
Tahun 1978 pengelolaan dari Dinas Kehutanan (dulu Djawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat) diserahkan ke Perum Perhutani Jawa Barat.
Pada tahun 1980 Kebun Raya/Hutan Wisata yang merupakan bagian dari komplek Hutan Gunung Pulosari ini ditetapkan sebagai taman wisata, yaitu Taman Wisata Curug Dago seluas 590 ha yang ditetapkan oleh SK. Menteri Pertanian Nomor : 575/Kpts/Um/8/1980 tanggal 6 Agustus 1980.
Pada tahun 1985, Mashudi dan Ismail Saleh sebagai pribadi dan Soedjarwo selaku Menteri Kehutanan mengusulkan untuk mengubah status Taman Wisata Curug Dago menjadi Taman Hutan Raya.
Usulan tersebut kemudian diterima Presiden Soeharto yang kemudian dikukuhkan melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1985 tertanggal 12 Januari 1985. Peresmian Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dilakukan pada tanggal 14 Januari 1985 yang bertepatan dengan hari kelahiran Ir. H. Djuanda. Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda sebagai Taman Hutan Raya pertama di Indonesia.



SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT DALAM AGAMA KATHOLIK



SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT

Baru-baru ini, ketika saya terbaring di rumah sakit, seorang wanita datang untuk mendoakan saya, ia juga mengurapi saya dengan minyak yang diberkati. Menurutnya, ia memperoleh wewenang dari “Seksi Kesehatan” paroki untuk melakukan pelayanan ini. Ketika imam datang untuk memberikan Sakramen Pengurapan, saya mengatakan bahwa saya sudah menerimanya dari seorang wanita. Imam mengatakan bahwa awam tak dapat memberikan pengurapan, jadi saya pikir saya tidak menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Falls Church~

Pengurapan Orang Sakit
Banyak umat merasa ngeri bila mendengar kata 'sakramen perminyakan'
Bahkan bila anggota keluarganya mau menerima sakramen ini justru mereka yang merasa cemas dan khawatir. Hal ini disebabkan oleh salah pengertian bahwa sakramen ini adalah 'sakramen penghabisan' yang diberikan hanya pada mereka yang menjelang ajal. Sebenarnya bagaimanakah pemahaman yang benar tentang sakramen ini?

Sakramen Pengurapan Orang sakit (dulu dikenal sebagai Sakramen Perminyakan Terakhir) dirayakan hanya oleh imam atau, tentu saja, uskup. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan, “Hanya imam (uskup dan presbiter) adalah pemberi Urapan Orang Sakit” (no 1516). Demikian pula Kitab Hukum Kanonik menegaskan, “Setiap imam, dan hanya imam, dapat melayani pengurapan orang sakit secara sah” (no 1003).

Sakramen perminyakan disebut juga sakramen pengurapan orang sakit. Penerimanya adalah para penderita sakit serius; bukan hanya mereka yang menjelang ajal. Termasuk di sini adalah mereka yang sakit berat, yang akan operasi besar dan orang lanjut usia yang kekuatannya melemah (KGK 1515).
Sakramen perminyakan berhubungan dengar penyakit; bukan dengan akhir hidup manusia. Kenapa orang yang sakit (serius) perlu menerima sakramer perminyakan? Sebab pengalaman sakit menjadi pergumulan orang beriman. Orang yang sakit dihadapkan pada suatu krisis. Memang dengan sakit dia bisa mencari dan kembali pada Allah (bertobat), menjadi lebih matang, melihat apa yang paling penting untuk hidup abadinya.
Tetapi penyakit tak jarang menyebabkan rasa takut, sikap menutup diri, rasa putus asa bahkan memberontak pada Allah (KGK 1501, Katekismus Gereja Katolik). Dalam situasi krisis seperti itulah orang beriman perlu didampingi, didoakan, dan dikuatkan lewat sakramen ini.
Tanda Kehadiran Kerajaan Allah Selama hidupNya, Tuhan Yesus mewartakan datangnya Kerajaan Allah. Hal itu ditandai dengar pengusiran roh-roh jahat dan pengampunan dosa (Mark 2:5-12). Dalam pandangan alkitab penyakil selalu dihubungkan dengan dosa. Karena itu Yesus juga menyembuhkan banyak orang sakit, bahkan mengikutsertakan para murid untuk mengolesi orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka (Mark 6:7-13). Penyembuhan orang sakit ditandai dengan penumpangan tangan (Luk 4:40), pengurapan dengan minyak (lambang penyembuhan), dan kontak jasmaniah (Yoh 9:6).
Alasan mengapa sakramen ini hanya boleh dilayani oleh imam adalah karena “pengurapan orang sakit” dan buah-buah rahmat khusus sakramen berkaitan erat dengan Imamat Kristus. Semasa pewartaan-Nya di depan publik, Yesus menyembuhkan banyak orang - yang buta, yang lumpuh, yang kusta, yang bisu dan tuli, yang sakit pendarahan dan yang sekarat. Penyembuhan-Nya menyentuh baik tubuh dan jiwa. Di sebagian besar kisah mukjizat penyembuhan, si sakit dihantar pada keyakinan iman yang lebih mendalam, dan mereka yang menyaksikannya tahu bahwa “Allah telah melawat umat-Nya” (Luk 7:16). Namun demikian, penyembuhan-penyembuhan ini, merupakan pratanda akan kemenangan jaya Kristus atas dosa dan maut melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya Sendiri.

Apa yang diperbuat Yesus itu kemudian diteruskan oleh Gereja Perdana seperti yang diberitakan oleh Rasul Yakobus:
'Kalau ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat supaya mereka mendoakan mereka serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa maka dosanya itu akan diampuni' (Yak 5:14-15).
Sakramen perminyakan dewasa ini
Dari teks di atas kemudian Gereja mengajarkan (salah satu sumber iman Katolik kita) hal-hal sebagai berikut:
• Penerimanya adalah orang sakit serius; bukan hanya mereka yang menjelang ajal (SC 73, Sacrosanctum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci).
• Penatua jemaat artinya uskup dan imam. Hanya mereka yang boleh menerimakan sakramen ini
sebab dalam sakramen ini ada unsur pengampunan dosa.
• Minyak yang dipakai ialah Oleum Infirmorum (OI), yang diberkati Uskup dalam misa Krisma. Dalam keadaan darurat, imam boleh memberkati sendiri minyak nabati (dari tumbuh-tumbuhan).
• Imam menumpangkan tangan lalu mengurapi dahi dan kedua telapak tangan si sakit dengan minyak Ol, sambil berdoa, 'Semoga karena pengurapan suci ini, Allah yang maharahim menolong saudara dengan rahmat Roh Kudus. Semoga Tuhan membebaskan saudara dari dosa dan membangunkan saudara di dalam rahmatNya.'
• Upacara ini bisa dilakukan di rumah, di rumah sakit atau di gereja. Bisa juga diterimakan secara
bersama-sama dengan ritus sakramen Tobat - sakramen Perminyakan - sakramen Ekaristi.
• Yang boleh menerima adalah mereka yang sudah dibaptis secara Katolik dan dapat menggunakan akal budinya. Kalau tidak sadar, sebelumnya dia pernah memintanya atau diandaikan memintanya bila dia sadar.

Buah-Buah Sakramen Perminyakan
Dalam KGK 1520 sakramen ini menanugerahkan rahmat Roh Kudus sehingga:
• si sakit mendapat kekuatan, ketenangan, dan kebesaran hati dalam mengatasi kesulitan karena
sakitnya.
• si sakit membarui iman dan harapan kepada Allah dan menguatkannya melawan godaan setan, godaan untuk berkecil hati dan rasa takut akan kematian.
• Bantuan Tuhan membawa si sakit pada kesembuhan jiwa tetapi juga menuju kesembuhan badan; kalau itu sesuai dengan kehendak Allah. (banyak orang mengalami anugerah istimeiva ini)
• Jika ia berbuat dosa maka dosanya akan diampuni (Yak 5:15)

Oleh @Sebastiana Jempormase dari berbagai sumber

Monday, September 22, 2014

KOREKSI NATRIUM TUBUH

HIPONATREMI

Hiponatremia dapat terjadi pada keadaan tonisitas atau osmolalitas yang rendah, normal ataupun tinggi. Sebagian besar kejadian hiponatremia berkaitan dengan hipotonisitas, yang berarti bila jumlah asupan cairan melebihi kemampuan eskresi. 
Etiologi
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal
pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke cairan ekstra sel dapat menimbulkan hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal. Termasuk dalam hal ini, keadaan hiperproteinemia dan hiperlipidemia
.
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma tinggi
Pada keadaan osmolalitas plasma yang tinggi, seperti pada keadaan hiperglikemia berat atau pemberian manitol intravena. Cairan intrasel akan keluar ke ekstrasel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel, dan menyebabkan hiponatremia.
 
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah
Terjadi pada keadaan seperti gagal jantung, sirosis, insufisiensi renal, sindroma nefrotik. Keadaan-keadaan ini terjadi dengan volume CES yang meningkat. Pada SIADH, volume CES normal dan pada keadaan muntah atau pada pemakaian diuretik, volume CES menurun.
Hiponatremia akut diartikan sebagai kejadian hiponatremia dalam jangka waktu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini tertjadi perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel, termasuk ke sel otak. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema otak yang mana keadaan ini merupakan keadaan berat yang dapat menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran. Edema otak yang terjadi, dibatasi oleh kranium disekitarnya, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi intrakranial dengan resiko brain injury.
Hiponatremia kronik diartikan sebagai keadaan hiponatremia dalam jangka waktu yang lebih dari 48 jam. Gejala yang timbul tidak berat karena ada proses adaptasi. Pada keadaan ini, cairan akan keluar dari jaringan otak dalam beberapa jam. Gejala yang timbul hanya berupa lemas dan mengantuk, bahkan dapat tanpa gejala. Keadaan ini dikenal juga dengan hiponatremia asimtomatik.
Definisi           : keadaan kadar darah Na < 130 mEq/L
Kadar Na  aman sekurangnya 125 mEq/L
Koreksi diberikan bila terdapat gejala SSP (edema otak), atau kadar Na < 120 mEq/L
mEq Na = 125 – Na Serum x 0,6 x BB (kg)
Rumus lainnya:

  • Defisit Natrium = 0,6 x BB (kg) X (140 – Na serum)
  • Durasi penggantian = 2 x (140 – Na serum) [jam]
Larutan NaCl 3% (513 mEq/L), NaCl 5% (855 mEq/L)
Koreksi diberikan dalam 4 jam. Pemberian NaCl 3% dengan dosis 1 mL/kgbb diharapkan dapat meningkatkan kadar Natrium sekitar 1,6 mEq/L. Larutan ini tidak untuk diberikan pada keadaan hiponatremia yang asimptomatik. Kenaikan kadar natrium serum idealnya tidak melebihi 1 mEq/jam
NaCl 3% 1 mEq = 2 cc

HIPERNATREMIA 
Hipernatremia adalah suatu keadaan dengan defisit cairan relatif, dalam artian merupakan keadaan hipertonisitas, atau hiperosmolalitas. Etiologi dari hipernatremia adalah:
Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air yang melebihi ekskresi natrium. Seperti pada pengeluaran keringat, insesible water loss, diare osmotik akibat pemberian laktulosa atau sorbitol. Asupan air yang kurang, pada pasien dengan gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor dan gangguan vaskuler. Penambahan natrium yang berlebihan, seperti pada koreksi asidosis dengan bikarbonat, atau pemberian natrium yang berlebihan. Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel, misalnya setelah latihan fisik berat.

Keadaan hipernatremia akan membuat cairan intraseluler keluar ke ekstraseluler untuk menyeimbangkan osmolalitas cairan ekstrasel. Hal ini akan membuat terjadinya pengkerutan sel, dan bila terjadi pada sel saraf sistem saraf pusat, maka akan menimbulkan disfungsi kognitif, seperti lemah, bingung, sampai kejang. 
Definisi           : keadaan bila kadar Na darah > 150 mEq/L
Pada keadaan dehidrasi berat disertai syok/presyok berikan NaCl 0,9% atau Ringer Laktat atau Albumin 5%
Setelah syok teratasi berikan larutan yang mengandung Na 75-80 mEq/L, misalnya NaCl-dextrosa (2A) atau DG half strength sampai ada diuresis, kemudian berikan K 40 mEq/L
Bila ada hipokalsemia berikan Ca glukonas sesuai kebutuhan
Penurunan kadar natrium serum tidak melebihi 0,5 mEq/L/jam
Jumlah cairan: defisit cairan dikoreksi dalam 2 x 24 jam (sd 72 jam)
Hari ke-1: 50% defisit + kebutuhan rumatan (rumus Holliday Segar)
Hari ke-2: 50% defisit + cairan rumatan sda
Ideal TBW x 145 mEq/L = Current TBW x Current serum sodium
Current TBW = 0,6 x current weight (kg)
TBW = total body water
Perbedaan perhitungan ideal TBW dan current TBW memberikan perkiraan free water deficit. Sisa volume dehidrasi yang mengandung elektrolit diasumsikan bahwa 60% kehilangan adalah ekstraseluler (mengandung Natrium 140 mEq/L), dan 40% adalah intraseluler (mengandung Kalium 150 mEq/L).

Sumber  :
Darwis D, Munajat Y, Nur MB, Madjid SA, Siregar P, Aniwidyaningsih, W, dkk. Gangguan Keseimbangan Air, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010
Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006 : 529-37Adrogue JH, Madias EN. Hyponatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1581-89
Adrogue JH, Madias EN. Hypernatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1493-99

Anatomi Fisiologi Reproduksi Wanita

Sistem reproduksi manusia baik pria maupun wanita memiliki struktur organ internal dan eksternalnya masing- masing. Setiap organ dalam sist...