Friday, September 26, 2014

PERAWATAN LUKA BAKAR DENGAN MADU



PERAWATAN LUKA BAKAR DENGAN MADU
Keperawatan Sistem Integumen
E.Learnig Penanganan Masalah Sistem Integumen
Fakultas Keperawatan
Universitar Airlangga
2011

LUKA BAKAR
1. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001).
Klasifikasi luka bakar meliputi :
tingkat I: Hanya mengenai epidermis,
tingkat II: dibagi menjadi superfisial dan dalam,
tingkat III: Mengenai seluhur tebal kulit, tidakada lagi sisa elemen epitelial.
2. Analisis kasus
Ny. Z (26 tahun) datang ke RS. Dr. Soetomo dengan keluhan luka bakar pada perut dan kedua kaki (tibia-pedis) akibat kecelakaan angkot yang terguling dan terbakar. Pasien rujukan dari RS. Gresik. Pasien didiagnosa dengan Combutio grade II AB 35%+fraktur humerus sinistra 1/3 distal. Pasien mendapatkan terapi infuse Tutofusin 1000 cc/24 jam, infuse kalbamin, meropenom 3x1 mg, omeprazole 1x40 mg, ondancentron 2x1 ampul, vitamin C 2x2 ampul, transamin 3x1 ampul, novalgin 3x1 ampul, susu 4x250cc, AP min 1000, dulcolax 1x1 bila perlu, ekstra jus buah, ekstra agar-agar, bubur kasar TKTP

1) ROS (Review Of System)
·         Breathing  (B1)  : irama nafas teratur, suara nafas vesikuler, RR:22x/m
·         Blood  (B2)        : TD : 124/67 mmHg, N : 120 x/m, suhu : 380 C, irama jantung regular, suara jantung normal, CRT <2 detik.="" span="">
·         Brain (B3)          : GCS : 4-5-6, konjunctiva anemis, nyeri pada bagian tubuh yang terbakar.
·         Bladder (B4)      : produksi urine ± 8500 cc/hari, intake cairan oral : 7000cc/hari, parenteral : 2100 cc/hari, pasien memmakai alat bantu kateter sejak 20 Mei 2011.
·         Bowel (B5)        : mukosa mulut bersih, abdomen tegang, sudah 7 hari pasien belum BAB, nafsu makan menurun, diet lunak.
·         Bone (B6)          : pergerakan sendi terbatas, fraktur humerus sinistra 1/3 distal, luka bakar grade II AB, luas : 35%.

2) Intervensi Keperawatan
1)     Dx : Gg. Rasa nyaman : Nyeri b.d terputusnya kontinuitas jaringan sekunder terhadap luka bakar.
Tujuan         :  Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil            :          
-   Klien mengungkapkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, menunjukan ekspresi wajah rileks,  skala nyeri 0-1
Intervensi
Rasional
a.      Kaji tingkat nyeri, catat lokasi, karateristik, durasi, dan skala nyeri (0-10)
b.      Mengajarkan  tehnik relaksasi dan metode distraksi
c.      Kolaborasi analgesik

a.       Sebagai pengukur intervensi.
b.      Akan melancarkan peredaran darah, dan dapat mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
c.      Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri berkurang.

2)     Dx : Kerusakan integritas kulit b.d trauma sekunder terhadap kerusakan jaringan karena destruksi lapisan kulit (partial).
Tujuan : dalam perawatan 2x24 jam Px menunjukkan regenerasi jaringan.
Kriteria hasil : - pasien menunjukkan turgor kulit normal, Integritas kulit pasien pulih.
Intervensi
Rasional
a.     Lakukan perawatan luka bakar yang tepat dan tindakan kontrol infeksi.
b.     Pasang balutan (kain nilon/membrane silikon) pada seluruh area luka
a.     Menyiapkan jaringan untuk penanaman dan menurunkan resiko infeksi/kegagalan kulit.
b.    Kain nilon mengandung kolagen porcine peptida yang melekat pada permukaan luka

3.      Penatalaksanaan
     Sebagian kasus luka bakar dapat dicegah, terutama dengan memberi pengertian serta memberi edukasi perilaku untuk orang-orang yang berkecimpung dengan berbagai penyebab luka bakar. Penggunaan bahan-bahan isolator juga bermanfaat untuk mengurangi risiko kejadian luka bakar.
     Pada penanganan penderita dengan trauma luka bakar, seperti pada penderita trauma-trauma lainnya, harus ditangani secara teliti dan sistematik. Prioritas pertama pada penderita luka bakar yang harus diperhatikan ialah jalan napas, proses bernapas, dan perfusi sistemik. Bila diperlukan, harus segera dilakukan intubasi endotrakeal atau pemasangan infus untuk mempertahankan volume sirkulasi. Selanjutnya, anamnesis untuk mengetahui penyebab dan memperkirakan perjalanan penyakit serta pemeriksaan fisik untuk memperoleh kelainan pada pasien mutlak diperlukan. Misalnya, apabila penderita terjebak pada ruang tertutup, maka perlu dicurigai kemungkinan trauma inhalasi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan derajat dan luas luka bakar.
     Pemeriksa wajib memakai sarung tangan steril bila akan melakukan pemeriksaan. Penderita harus dijauhkan dari sumber panas, termasuk melepas pakaiannya bila terbakar. Untuk membebaskan jalan napas dapat dipasang pipa endotrakea. Apabila memerlukan resusitasi, dapat diberikan cairan Ringer Laktat dengan jumlah 30-50 cc/ jam. Dilakukan pemasangan kateter Foley untuk memonitor jumlah urin yang diproduksi serta pemasangan pipa nasogastrik untuk dekompresi gastrik. Untuk menghilangkan nyeri hebat dapat diberikan morfin intravena. Obat yang umum dipergunakan pada nyeri luka bakar ialah golongan opioid, NSAID, dan obat anestesi.
     Bila diperlukan, tetanus toksoid dapat diberikan. Pencucian luka di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum. Setelah bersih dioles dengan sulfadiazin perak topikal sampai tebal. Rawat tertutup dengan kasa steril yang tebal, lalu pada hari kelima kasa dibuka dan penderita dimandikan dengan air dicampur Savlon 1:30.
Berdasarkan penelitian, pemberian propanolol dapat menghambat proses metabolisme sehingga memberikan kesempatan tubuh mengadakan respon anabolic untuk proses penyembuhan pasien. Pada evaluasi pemberian propanolol jangka panjang belum ditemukan efek samping.

4.      Manajemen Luka Bakar Dgn Madu
Khan et al (2007), mendeskripsikan fakta nutrisional dari madu. Rata-rata, madu tersusun atas 17,1 % air, 82,4% karbohidrat total, dan 0,5% protein, asam amino, vitamin dan mineral. Sebagai agen penyembuh luka, madu memiliki 4 karakteristik yang efektif melawan pertumbuhan bakteri. Karakteristik itu itu adalah tinggi kandungan gula, kadar kelembapan rendah, asam glukonik (yang menciptakan lingkungan asam, pH 3,2-4,5) dan hidrogen peroksida. Kadar gula yang tinggi dan kadar kelembapan yang rendah akan membuat madu memiliki osmolaritas yang tinggi, yang akan menghambat pertumbuhan bakteri.
Subrahmanyam (1998) membandingkan keefektifan madu dan silver sulphadiazine (SSD) pada luka bakar superficial. Beliau menemukan bahwa pada hari ketujuh observasi, 84% pasien yang dirawat menggunakan madu menunjukkan epitelialisasi yang memuaskan, dan pada luka-luka yang dirawat dengan SSD 72% epitelialisasi dengan sel inflamasi. Pada hari keduapuluh satu, 100% epitelialisasi dicapai oelh luka yang dirawat dengan madu, sedangkan luka yang dirawat dengan SSD 84% nya mengalami epitelialisasi. Moore et al (2001) mengidentifikasi bahwa waktu penyembuhan luka lebih singkat secara signifikan pada madu, tetapi kepercayaan diri untuk menggunakan madu dalam lingkup klinis masih rendah.
Secara histologis, madu dapat menstimulasi pertumbuhan jaringan, mengurangi inflamasi dan meningkatkan epitelialisasi (Oryan, 1998 cit. Molan, 2006). Secara makroskopis riset juga menunjukkan fungsi debridement dari madu.
Pada luka yang dirawat dengan madu, menunjukkan kontrol infeksi yang lebih baik dibandingkan dengan luka yang dirawat dengan SSD. Kejadian alergi terhadap madu sangat jarang, meskipun mungkin ada respon alergi terhadap polen atau protein lebah yang terkandung didalam madu.

Referensi
Anonim. 2008. Perawatan Luka Bakar. http://bedahumum.wordpress.com/2008/12/06/perawatan-luka-bakar/. 16 Juni 2011
Anonim. 2010. Manajemen Luka Bakar. http://tbm110.0rg/artikel-medis/manajemen-luka-bakar. 16 Juni 2011
Carpenito,J,L. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2 (terjemahan). Jakarta: EGC
Dahlan, Ishandono dan M. Rosadi Siswandana. 2002. Penggunaan Propanolol Untuk Menghambat Proses Katabolisme Pada Pasien Luka Bakar, Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran XXXVI (1) UGM. http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/tipejurnal.php/. 16 Juni 2011
Doenges M.E.1989. Nursing Care Plan. Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). F.A. Davis Company. Philadelpia.
Kartini, Monica. 2009. Efek Penggunaan Madu dalam Manajemen Luka Bakar, Jurnal Kesehatan, Volume 2 No. 2. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/22091720.pdf.   16 Juni 2011
Khan et al. 2007. Review Article: Honey: Nutritional and Medicinal Value, International Journal of Clinical Practice. Volume 61, Number 10. http://www.blackwell-synergy.com. Tanggal 16 Juni 2011
Moore et al. 2001. Systematic Review of The Use of Honey as a wound Dressing. BMC-Complementary and Alternative Medicine, Volume 1:2, Database of Abstrac of Review of Effect (DARE). http://www.crd.york.ac.uk/CRDWeb/ShowRecord.asp?ID=12001008179. Tanggal 16 Juni 2011
Subrahmanyam, M. 1998. A Prospective Randomised Clinical and Histological Study of Superficial Burn Wound Healing with Honey and Silver Sulfadiazine, Journal of The International Society for Burn Injuries, Volume 24, Issue 2

Thursday, September 25, 2014

RELAKSASI OTOT PROGRESIF DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR LANSIA



RELAKSASI OTOT PROGRESIF DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN TIDUR LANSIA
Rahmadona Fitrisyia*, Ismayadi**
Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara


Abstrak
Tidur merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi bagi setiap individu yang terjadi secara alami dan memiliki fungsi fisiologis dan psikologis. Salah satu tindakan non farmakologis untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia adalah dengan melakukan Relaksasi Otot Progresif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur lansia. Desain penelitian adalah quasy-eksperiment dengan pendekatan one group pre test – post test design. Sampel penelitian ini adalah lansia sebanyak 19 orang yang diambil secara Simple Random Sampling. Analisa data dilakukan dengan Uji t-dependent. Berdasarkan uji statistik diperoleh nilai p=0,000 maka dapat disimpulkan bahwa relaksasi otot progresif mempunyai pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada perawat anak agar dapat menggunakan relaksasi otot progresif sebagai intervensi nonfarmakologis dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
Kata kunci: Relaksasi, Otot Progresif, Tidur, Lansia

PENDAHULUAN
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang terjadi secara alami dan memiliki fungsi fisiologis dan psikologis untuk proses perbaikan tubuh. Jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang baik maka akan menimbulkan kerusakan pada fungsi otot dan otak karena tidak adekuatnya kebutuhan tidur (Stanley, 2006). Pada kelompok lanjut usia (empat puluh tahun) dijumpai 7 % kasus yang mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari). Hal yang sama dijumpai pada 22% pada kelompok usia 75 tahun. Demikian pula, kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh terbangun lebih awal. Selain itu, terdapat 30% kelompok usia tujuh puluh tahun yang banyak terbangun di waktu malam hari. Angka ini ternyata tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun (Bandiyah, 2009).
Tingginya masalah tidur yang terjadi pada lansia memerlukan penanganan yang sesuai untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur. Pemenuhan kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda dan terlihat dari kualitas tidurnya. Kebutuhan kualitas tidur ada yang terpenuhi dengan baik dan ada yang mengalami gangguan (Hidayat, 2006). Pemenuhan kebutuhan tidur terlihat dari parameter kualitas tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk tidur, frekuensi terbangun dan beberapa aspek subjektif, seperti kedalaman tidur, perasaan segar di pagi hari, kepuasan tidur serta perasaan lelah siang hari (Bukit, 2003). Peningkatan pemenuhan kebutuhan tidur dapat dilakukan dengan mengajarkan cara-cara yang dapat menstimulus dan memotivasi tidur. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah relaksasi. Relaksasi merupakan suatu bentuk teknik yang melibatkan pergerakan anggota badan dan bisa dilakukan dimana saja (Potter & Perry, 2005). Metode relaksasi terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah relaksasi otot progresif (progressive muscle relaxation), pernapasan diafragma, imagery training, biofeedback, dan hipnosis (Miltenberger, 2004).
Terapi non farmakologis yang termurah sampai saat ini, tidak memerlukan imajinasi, ketekunan atau sugesti, tidak ada efek samping, mudah untuk dilakukan adalah relaksasi otot progresif. Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik untuk mengurangi ketegangan otot dengan proses yang simpel dan sistematis dalam menegangkan sekelompok otot kemudian merilekskannya kembali (Marks, 2011). Relaksasi ini diperkenalkan oleh Edmund Jacobson pada tahun 1938 (Conrad dan Roth, 2007). Selain untuk memfasilitasi tidur, relaksasi otot progresif juga bermanfaat untuk ansietas, mengurangi kelelahan, kram otot serta nyeri leher dan punggung (Berstein, Borkovec, dan Steven, 2000). Penelitian yang pernah dilakukan mengenai relaksasi otot progresif, yaitu Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap kebutuhan istirahat tidur klien di ruang VIP-B RSUD Bima diperoleh hasil tidur baik dan tidur cukup sebanyak 8 orang (40%) setelah dilakukan tindakan dan sebelum dilakukan tindakan tidak ada yang memiliki tidur baik dan tidur cukup (0%). Sedangkan yang tidur kurang, naik menjadi 12 orang (60%) dibandingkan sebelum diberikan tindakan berjumlah 20 orang (100%)(Haris, 2010). Penelitian dari Roosevelt University Stress Institute menyatakan bahwa Relaksasi otot Progresif lebih efektif dalam menimbulkan relaksasi fisik daripada yoga (Ghoncheh, 2004)
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
Hipotesis alternatif dari penelitian ini adalah ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen dengan pendekatan one group pre-test – post test design dengan melibatkan satu kelompok subjek, yaitu kelompok intervensi tanpa kelompok kontrol. Sebelum intervensi diberikan kuesioner yang telah ditetapkan yaitu pretest dan sesudah intervensi diberikan post test. Setelah intervensi selesai dilakukan, maka dilihat perubahan pemenuhan kebutuhan tidur yang dialami responden. Populasi berjumlah 162 orang lansia. Pengambilan sampel dengan Simple Random Sampling.
Untuk mengetahui apakah ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia pre dan post pemberian intervensi maka uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik paired t-test (t-test dependent) Sebelum melakukan uji t-test, peneliti melakukan uji normalitas dengan metode analitis secara komputerisasi menggunakan Shapiro Wilk karena sampelnya ≤ 50 dengan nilai kemaknaan (p > 0,05).
Pembahasan

Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia berdasarkan Parameter Kualitas Tidur Sebelum dilakukan Relaksasi Otot Progresif
Sebelum diberikan relaksasi otot progresif pada lansia maka dilakukan pre test terlebih dahulu. Pada hasil pre test terhadap parameter kualitas tidur diperoleh hasil yaitu mean total dari skor pemenuhan kebutuhan tidur lansia, yaitu 14,63 (SD=1,86). Hal ini sesuai dengan pendapat Akmal (2012) yang menyatakan Lansia menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur untuk memulai tidur, frekuensi terbangun menjadi meningkat sehingga fragmentasi tidur karena seringnya terbangun mengalami peningkatan. Lansia juga cenderung mengalami keletihan, mengantuk, penurunan efisiensi tidur dan mudah jatuh tidur pada siang hari (Lueckenotte, 2000). Pendapat lain juga didukung oleh Winanto (2009) bahwa lansia perlu memperhatikan kualitas tidurnya. Kualitas tidur tidak hanya tergantung pada jumlah, tetapi bergantung pada pemenuhan kebutuhan tubuh untuk tidur. Lamanya waktu tidur tergantung dari individunya sendiri dan yang menjadi salah satu indikator terpenuhinya kebutuhan kualitas tidur seseorang adalah kondisi saat bangun tidur. Seseorang yang segar artinya kebutuhan tidurnya sudah tercukupi.
Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia berdasarkan Parameter Kualitas Tidur Setelah dilakukan Relaksasi Otot Progresif
Hasil yang didapatkan dari mean total skor pemenuhan kebutuhan tidur mengalami peningkatan yaitu 22,26 (SD=1,82). Hasil penelitian ini didukung oleh Prayitno (2002) yang menyatakan bahwa terapi relaksasi otot progresif harus dilakukan dengan baik karena dapat menciptakan keadaaan yang relaks dan efektif dalam memperbaiki tidur. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Widastra (2009) bahwa beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kebutuhan tidur secara kualitas dan kuantitas adalah metode Bootzin dan metode relaksasi, namun pendekatan relaksasi yang paling banyak dipakai adalah relaksasi otot progresif.
Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Mc Guigan (2007) bahwa setelah
pemberian relaksasi otot progresif pada 33 pasien mengalami peningkatan kualitas, kedalaman, dan durasi tidur yang disertai penurunan rasa mengantuk di pagi hari. Penelitian lain dari Marks (2011) menyatakan bahwa Relaksasi otot progresif efektif meningkatkan kualitas tidur jika dilakukan selama secara teratur dalam waktu 6 minggu. National Center for Complementary and Alternative Medicine (2010) juga menyebutkan efek dari relaksasi otot progresif membantu lansia dalam meningkatkan kebutuhan tidurnya dan menurunkan gangguan tidur yang cenderung meningkat pada lansia. Relaksasi ini lebih baik dilakukan dibandingkan teknik meditasi. Dengan demikian intervensi keperawatan dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur dapat dilakukan dengan melakukan teknik relaksasi yaitu relaksasi otot progresif sehingga dapat memenuhi kebutuhan tidur secara kualitas kepada lansia (Berstein, Borkovec, dan Steven, 2000).
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini membuktikan bahwa relaksasi otot progresif merupakan salah satu bentuk relaksasi yang digunakan untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tidur lansia. Oleh sebab itu, relaksasi ini dapat dijadikan perawat sebagai intervensi dalam pemenuhan kebutuhan tidur lansia.
DAFTAR PUSTAKA

Akmal, S.A. (2012). Diagnosis dan Penatalaksanaan Insomnia Pada Lanjut Usia. Juni 11, 2012 dari http://infopenyakitdalam.com

Bandiyah, S. (2009). Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik.Yogyakarta: Nuha Medika

Berstein,A.D.Borkovec.Stevens, et al. (2000).The Journal : New Direction in Progressive Relaxation Training a Guidebook for Helping. USA: Praeger Publisher.USA

Bukit, E. K. (2003).Thesis : Sleep Quality and Factors Interfering With Sleep Among Hospitalized Elderly in Medical Units, Medan, Indonesia. Prince of Songkla University

Conrad, A. & Roth, W.T. (2007). Muscle Relaxation for Anxiety Disorder: It works but how?. The Journal of Anxiety Disorder, 243-264. Oktober 12, 2011. http://www.laboratoriosilesia.com

Hidayat, A. A. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika

Ramdhani, N.Aulia. Adhyos. (2008). Pengembangan Multimedia Relaksasi. November 27, 2011. http://www neila.staff.ugm.ac.id

Anatomi Fisiologi Reproduksi Wanita

Sistem reproduksi manusia baik pria maupun wanita memiliki struktur organ internal dan eksternalnya masing- masing. Setiap organ dalam sist...