Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang berulang akibat lepasnya muatanlistrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel. Bangkitnya kejang ini disebabkan karena adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan lstrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada dalam otak. Sekumpulan neuron yang bersifat iritatif pada otak disebut epileptogenik. (sumber: Tarwoto, 2007)
Fase
dari aktivitas kejang adalah fase prodromal, aura, iktal, dan posiktal. Fase
prodromal meliputi perubahan alam perasaan atau tingkah laku yang mungkin
mengawali kejang beberapa jam/beberapa hari. Fase aura adalah awal dari
munculnya aktivitas kejang dan mungkin berupa gangguan penglihatan,
pendengaran, atau rasa raba. Fase iktal merupakan fase dari aktivitas kejang,
yang biasanya terrjadi gangguan muskuloskeletal. Fase posiktal adalah periode
waktu dari kekacauan mental/somnolen/peka rangsangan yang bterjadi setelah
kejang tersebut. (sumber: Marillynn E.
Doenges)
Gangguan
ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimia, anatomis dan atau
gabungan ketiganya, sehingga epilepsi terdapat dalam berbagai jenis diantaranya
:
1.
Grand
mall (mayor/umum)
2.
Petit
mall
3.
Psychomotor
(Simptomatik kompleks)
4.
Focal
(Jacksonian)
5.
Miscellanous
(Myoclonic, akinetic) (sumber: Depkes,
1995)
b.
Etiologi (sumber: Arif
Mansjoer, 2000)
1.
Idiopatik
; sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik.
2.
Faktor
herediter; ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis
ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3.
Faktor
genetik; pada kejang demam dan breath
holding spells.
4.
Kelainan
kongenital otak: atrofi, porensefali, agenesis korpus kalosum.
5.
Gangguan
metabolik : hipoglikemi, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia.
6.
Infeksi
: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplasmosis.
7.
Trauma
: kontuiso serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural.
8.
Neoplasma
otak dan selaputnya.
9.
Kelainan
pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen.
10.
Keracunan
: timbal (Pb), kamper, fenotiazin.
11. Lain-lain: penyakit
darah, gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral,
dll. (sumber: Arif Mansjoer, 2000)
c.
Faktor Presipitasi
Faktor yang mempermudah
terjadinya serangan, yaitu:
1.
Faktor
sensori : cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas.
2.
Faktor
sistemis : demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu.
3.
Faktor
mental : stres, gangguan emosi. (sumber:
Arif Mansjoer, 2000)
d.
Patofisiologi
Sampai
saat ini patofisilogi epilepsi belum diketahui dengan jelas. Namun ada
hipotesis yang menduga bahwa epilepsi disebabkan karena ada sekelompok neuron
yang secara intrinsik mempunyai kelainan pada membrannya dan bersifat iriatif.
Serangan
epilepsi terjadi karena adanya lepas muatan listrikyang berlebihan dari
neuron-neuron di susunan saraf pusat yang terlokalisir pada neuron-neuron
tersebut atau transmisi sinaptiknya. Transmisi sinaptik oleh neurotransmiter
yang bersifat eksitasi atau inhibisi dalam keadaan gangguan keseimbangan akan
mempengaruhi plorisasi membran sel, dimana pada tingkat membran sel maka neuron
epileptik ditandai oleh proses biokimia tertentu yaitu (1) ketidakstabilan
membran sel saraf sehingga sel mudah diaktifkan, (2) neuron hypersensitifitas
dengan ambang yang menurun sehingga mudah terangsang serta dapat terangsang
secara berturut-berturut, (3) kemungkinan terjadi polarisasi yang berlebihan,
hyperpolarisasi atau terhentinya repolarisasi, karena terjadi perbedaan
potensial listrik lapisan intra sel dan ekstra sel.
Penyabaran
epileptik dari neuron-neuron ke bagian otak lain dapat terjadi oleh gangguan
pada kelompok neuron inhibitor yang berfungsi menahan pengaruh neuron lain
sehingga terjadi sinkronisasi dan aktifasi yang berulang-ulang, sehingga klien
kehilangan kesadaran atau gangguan pada formatio retikularis sehingga sistem
motoris kehilangan kontrol normalnya dan menimbulkan kontraksi otot polos. (sumber: Depkes, 1995)
e.
Tanda dan Gejala
(sumber : Tarwoto, 2007)
ü Keadaan sebelum kejang
: kejang diawali adanya gangguan pada
penglihatan, stimulus auditorius, olfaktorius, stimulus taktil, gangguan emosi.
ü Keadaan saat
berlangsung :
1.
Kejang
umum : kejang yang menunjukkan sinkronisasi keterlibatan semua bagian otak pada
kedua hemisfer. Yang termasuk kejang umun adalah :
-
Petit
mall (absen) : kejang yang mangalami kehilangan kesadaran tanpa disertai
gerakan motorik, involunter yang aneh.
-
Grand
mall (tonik klonik) : serangan kejang yang melibatkan di tandai adanya aura
seperti sensasi penglihatan atau pendengaran yang diikuti kehilangan kesadaran
secara mendadak, ditandai lidah dapat tergigit, mulut berbusa, inkontinensia
urin dan alvi, kehilangan kesadaran yang mendadak, setelah mengalami tonik
klonik pasien nyeri otot, lemah, letih, mengantuk, dan tidur dalam jangka waktu
lama pasien lupa apa yang terjadi.
-
Mioklonik
: serangan yang ditandai kontraksi kelompok otot tertentu secara singkat dan
tiba-tiba.
-
Atonik
: serangan yang ditandai dengan kehilangan tonus tubuh dan kesadaran sangat
singkat.
2.
Kejang
fokal/parsial
Kejang
menunjukkan gambaran klinis tentang awitan vokal dari sebagian/hemisfer
serebral (bicara inkoheren, pusing, mengalami sinar, bunyi, bau, tidak nyaman)
mulut dapat tersentak tak terkontrol.
a.
Kejang
parsial sederhana
Sadar
akan apa yang terjadi, tapi tidak mampu mengendalikan. Tandanya bisa hanya
sensorik, motorik, automatik, atau ketiga area bisa terkena.
b.
Kejang
parsial kompleks
Adanya
gangguan kesadaran, gangguan kognitif, afektif, psikosensorik dan psikomotor
(automatik), emosi berlebihan yaitu takut, marah, kegirangan atau peka
rangsangan, dejavu (kenal peristiwa yang sebelumnya belum pernah dialaminya),
jamais-vu (tidak kenal dengan peristiwa yang pernah dialami), adanya
halusinasi, otomatisme (gerakan mengunyah-unyah, menelan).
3.
Kejang
yang tidak dapat diidentifikasi/digolongkan karena datanya tidak lengkap.
ü Keadaan setelah
berlangsung : periode waktu dari kekacauan
mental/somnolen/peka
rangsangan yang bterjadi setelah kejang
f.
Prosedur Diagnostik
·
Computer
Tomography (CT) Scan : adanya perubahan stuktur otak.
·
Magnetic
Resonance Imaging (MRI) : adanya perubahan stuktur otak.
·
Cerebral
angiography : kemungkinan abnormalitas vaskuler.
·
Elektroencephalogram
(EEG) : adanya gelombang paku (spike), gelombang paku lambat (spike and slow
wave), polispike and wave.
·
Test
urine untuk menentukan kadar obat.
·
Kimia
darah : hipoglikemia, tidak seimbangnya elektrolit, meningkatnya BUN, kadar
alkohol darah. (sumber: Tarwoto, 2007)
g.
Terapi dan
Penatalaksanaan Keperawatan
Tujuan
pengobatan adalah menyembuhkan atau mengatasi gejala-gejala dan mengurangi efek
samping pengobatan obat. Setiap obat epilepsi mempunyai
efektifitas
yang terbatas untuk mengatasi epilepsi yang berbeda. Sehingga apabila pilihan
tiadak tepat dapat menimbulkan toksikasi.
Prinsip
pengobatan farmakologis pasien dengan epilepsi adalah :
ü Tegakkan diagnosa
dengan mengklasifikasikan jenis kejang.
ü Pilih obat pilihan
utama sesuai dengan jenis kejang.
ü Tingkatkan dosis
secara lembat sampai mencapai dosis terapi, tentukan efek samping.
ü Jika respon buruk
ganti dengan obat pengganti secara bertahan.
ü Jika perbaikan hanya
sebagian mungkin diperlukan obat lain.
ü Atur dosis obat agar
tetap sesuai kadar plasma.
ü Jika teratasi rujuk
dokter ahli epilepsi.(sumber: Tarwoto,
2007)
Jenis
obat yang dipakai saat ini :
Nama
obat
|
Dosis
dewasa
|
Dosis
anak
|
Fenobarbital (FB)
|
1,5 – 3 mg/kg
|
1-5
mg/kg
|
Difinilhidatonin (FH)
|
4 mg/kg
|
4 – 12 mg/kg
|
Karbamazepine (Kz)
|
1,5 – 8 mg/kg
|
15 – 25 mg/kg
|
Asam valproat (AVP)
|
-
|
10 – 70 mg/kg
|
Etosuksimid (ETS)
|
-
|
10 – 70 mg/kg
|
Jenis
obat berdasarkan efektifitas jenis epilepsi :
Jenis
epilepsi
|
Obat
yang efektif
|
Parsial/fokal
|
FB,
FH, Kz
|
Grand mall
|
AVP,
FB, FH
|
Petit mall (lena)
|
ETS,
AVP
|
Mioklonik
|
ETS,
AVP
|
Atonik
|
ETS,
AVP
|
STATUS
EPILEPTIKUS
Status epiliptikus adalah aktivitas
kejang yang berlangsung terus-menerus lebih dari 30 menit tanpa pulihnya
kesadaran. Dalam praktek klinis lebih baik mendefinisikannya sebagai setiap
aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit. Status
mengancam adalah serangan kedua yang terjadi dalam waktu 30 menit tanpa
pulihnya kesadaran antarserangan. (sumber:
Arif Mansjoer, 2000)
PENATALAKSANAAN
1.
Lima
mennit pertama
·
Pastikan
diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya.
·
Beri
oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas,
intubasi bila perlu bantuan ventilasi.
·
Tanda-tanda
vital dan EKG, koreksi bila ada kelainan.
·
Pasang
jalur intravena dengan NACl 0,9%, periksa gula darah, kimia darah, hematologi
dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
2.
Menit
ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah
tidak diperiksa, berikan 50ml glukosa 50% bolus intravena (pada anak:2ml/kg/BB/glukosa
25%) disertai 100mg tiamin intravena.
3.
Menit
ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2mg/kgBB diazepam dengan kecepatan
5mg/menit sampai maksimum 20mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat
diulangi lagi. Diazepam harus diikutui denag dosis rumat fenitoin.
4.
Menit
ke-20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20mg/kgBB dengan
kecepatan < 50mg/menit pada dewasa dan 1mg/kgBB/menit pada anak; monitor EKG
dan tekanan darah selama pemberian.
5.
Setelah
60 menit
Jika status masih berkelanjutan
setelah fenitoin 20mg/kg maka berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum
30mg/kg. Jika status menetap, berikan 20mg/kg fenoberbital intravena dengan
kecepatan 60mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika
status menetap, anestesi umum dengan pentobarbital, midazolam atau propofol.
Cara
lainnya dengan pemberian 50 mg diazepam dalam 250ml dektrosa 5% intravena
dengan kecepatan 20 tetes/menit selama 2-3 jam, namun hati-hati karena dapat
menyebabkan depresi pernapasan. Selain itu dapat pula diberikan 100 mg
fenobarbital intramuskular. Bila sawan menetap beri narkosis umum, pasien
dirawat di ruang poerawatan intensif (ICU) agar dapat dilakukan pemantauan
sistem kardiorespirasi dan bila terjadi kegagalan respirasi sebagai efek
samping pengobatan dapat segera dilakkukan resusitasi. (sumber: Arif Mansjoer, 2000)
B. ASUHAN
KEPERAWATAN
a. Pengkajian
(sumber: Tarwoto, 2007)
1.
Riwayat
keperawatan
a.
Riwayat
kesehatan
·
Riwayat
keluarga dengan kejang
·
Riawayat
kejang demam
·
Tumor
intrakranial, infeksi cerebral
·
Trauma
kepala terbuka, stroke
b.
Riwayat
kejang
·
Berapa
sering terjadi kejang
·
Gambaran
kejang seperti apa
·
Berapa
lama kejang berlangsung
·
Apakah
sebelum kejang ada tanda-tanda awal
·
Apa
yang dilakukan pasien setelah kejang
c.
Riwayat
penggunaan obat
·
Nama
obat yang dipakai
·
Dosis
obat
·
Berapa
kali penggunaan obat
·
Kapan
putus obat
2.
Pemeriksaan
fisik
·
Tingkat
kesadaran
·
Ada
gerakan-gerakan automatisme, mengedip-edipkan mata
·
Abnormal
posisi mata
·
Perubahan
pupil
·
Gerakan
atau aktivitas motorik
·
Tingkah
laku setelah kejang
·
Apnea
·
Cyanosis
·
Saliva
yang banyak
·
Lidah
tergigit
·
Inkontinensia
urine
3.
Psikososial
·
Usia
·
Jenis
kelamin
·
Pekerjaan
·
Peran
dalam keluarga
·
Strategi
koping yang digunakan
·
Gaya
hidup dan sistem dukungan yang ada
4.
Pengetahuan
pasien dan keluarga
·
Kondisi
penyakit dan pengobatan
·
Kondisi
kronik
·
Kemampuan
membaca dan belajar
5.
Pemeriksaan
diagnostik
a.
Laboratorium
·
Darah
lengkap
·
Serum
elektrolit
·
Fungsi
liver
b.
Radiologi
·
Kelainan
organik cerebral
·
Identifikasi
disfungsi area cerebral
b. Diagnosa
dan Intervensi Keperawatan (sumber: Tarwoto, 2007)
1. Resiko
injuri sehubungan dengan aktivitas kejang.
Data pendukukung :
-
Riwayat
kejang
-
Aktivitas
kejang
-
Penggunaan
obat anti kejang
Kriteria hasil :
-
Pasien
bebas dari kejang
-
Mempertahan
integritas fisik
-
Tidak
terjadi trauma fisik
-
Tidak
terjadi hipoksia dan aspirasi
Intervensi
keperawatan :
1.
Pertahankan
poissi temapt tidur lebih rendah
2.
Berikan
pagar pengaman pada tempat tidur
3.
Sebelum
kejang lakukan persiapan : spatel lidah, oksigen, suction dekat tempat tidur.
4.
Monitor
aktivitas kejang.
5.
Selama
kejang : pertahankan jalan nafas pasien, lindungi kepala, pasang spatel jika
memungkinkan, longgarkan pakaian, jaga privasi pasien.
6.
Catat
frekuensi waktu, bagian tubuh yang terjadi kejang.
7.
Laporkan
kepada dokter jika kejang tanpa periode kesadaran.
2.
Cemas berhubungan
dengan terjadinya kejang, komplikasi kejang dan penerimaan terhadap lingkungan.
Data pendukung :
-
Pasien
mengatakan sering kejang, takut terulang kembali.
-
Ekspresi
wajah sedih.
-
Pasien
gelisah
-
Meningkatnya
denyut jantung
Kriteria hasil :
-
Pasien
dapat mengungkapkan kecemasan dan apa yang sedang dipikirkan.
-
Pasien
dapat meningkatkan koping yang efektif koping yang efektif dalam menghadapi
epilepsinya.
Intervensi
keperawatan :
1.
Kaji
status emosional secara terus menerus, penampilan dan tingkah laku untuk
menetapkan reaksi terhadap diagnosa.
2.
Beri
kesempatan pasien untuk mendiskusikan secara terbuka tentang perasaan, sikap
dan kepercayaan pasien.
3.
Validasi
tentang kecemasan pasien dan identifikasi metode koping yang tepat untuk
pasien.
4.
Lakukan
intervensi khusus, sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien, berikan respons
yang positif terhadap pasien.
3. Gangguan
konsep diri : Harga diri yang rendah, identitas diri tidak jelas.
Data pendukung :
Menderita penyakit epilepsi, tidakdapat mengotrol
keadaan diri saat berlangsung.
Kriteria hasil :
Klien dapat
mengidentifikasi perasaan, pola koping yang positif/negatif. Secara verbal mempunyai
harga diri meningkat. Menerima keadaan dirinya dan perubahan fungsi/peran/gaya
hidup yang di hadapinya.
Intervensi
Keperawatan :
1.
Diskusikan
tentang perasaan yang dihadapi klien.
2.
Dorong
pasien untuk mengekspresikan fikiran dan perasaannya.
3.
Kaji
kemampuan klien yang positif sesuai dengan keadaan sehingga dapat memanfaatkan
kemampuan tersebut untuk meningkatkan harga diri klien dan dapat hidup di
masyarakat. (sumber: Depkes, 1995)
4.
Kurangnya pengetahuan
sehubungan pertama kali terdiagnosa epilepsi, seringnya aktivitas kejang dan
status perkembangan usia.
Data pendukung :
-
Pasien
menanyakan tentang epilepsi.
-
Pasien
menolak tindakan perawatan.
-
Pasien
tidak kooperatif dalam keperawatan.
Kriteria hasil :
-
Pasien
mendiskusikan faktor yang dapat menimbulkan kejang.
-
Pasien
mengungkapkan secara verbal pengetahuan tentang pengobatan.
-
Mengungkapkan
secara verbal perubahan gaya hidup untuk menghindari faktor pencetus kejang.
Intervensi
keperawatan :
1.
Tetapkan
pengetahuan pasien, keluarga tentang epilepsi, tingkat penerimaan.
2.
Berikan
penjelasan tentang epilepsi, obat, efek samping.
3.
Informasikan
faktor pencetus epilepsi.
4.
Diskusikan
dengan pasien dan keluarga tentang perubahan gaya hidup seperti jenis
pekerjaan, dan aktivitas hidup.
c. Evaluasi
Keperawatan (sumber: Bruner and Sudarrth, 1997)
1.
Mempertahankan
kontrol kejang
a. Mengikuti program
pengobatan dan mengidentifikasi bahaya obat yang diberikan.
b. Mengidentifikasi efek
samping obat.
c. Dapat menghindari
faktor atau situasi yang dapat menimbulkan kejang (cahaya menyilaukan,
hiperventilasi, alkohol)
d. Mengikuti gaya hidup
sehat dengan tidur yang cukup dan makan dengan teratur untuk menghindari
hipoglikemia.
2.
Meningkatnya
penyesuaian psikososial dengan mendiskusikan perasaan.
3.
Meningkatkan
pengetahuan dan pengertian tentang epilepsi.
4.
Bebas
dari kejang dan komplikasi status epileptikus.
DAFTAR PUSTAKA
ü
Tarwoto,
dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta :
Sagung Seto.
ü
Suzane
c,Bare. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (Bruner N Sudarrth). Jakarta
: EGC.
ü
Doengoes
Marillynn E, dkk. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
ü
Asuhan
Keperawatan Pada klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. 1995. Jakarta :
Depkes.
ü
Mansjoer
Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta :
Media Aesculapius Fak. Kedokteran UI.
No comments:
Post a Comment