INFEKSI NOSOKOMIAL
A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan diberikan di berbagai fasilitas
kesehatan, mulai dari fasilitas yang mempunyai peralatan yang sangat sederhana,
sampai yang memiliki teknologi modern. Meskipun telah ada perkembangan dalam
pelayanan di rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainya, infeksi terus pula
berkembang terutama pada pasien yang dirawat di rumah sakit.
Infeksi yang terjadi di rumah sakit disebut juga
“Infeksi Nosokomial”, yaitu infeksi yang diperoleh ketika seseorang dirawat di
rumah sakit, tanpa adanya tanda-tanda infeksi sebelumnya dan minimal terjadi 3
x 24 jam sesudah masuk kuman.
Survey prevalensi yang dilakukan oleh WHO terhadap 55
rumah sakit di 14 negara mewakili 14 daerah WHO (Eropa, Mediterania timur, Asia
Selatan – Timur, dan Pasifik Barat) menunjukkan rata-rata 8,7% pasien di rumah
sakit menderita infeksi nosokomial.
Tingkat infeksi nosokomial di Asia
dilaporkan lebih dari 40% (Alvarado 2000).
Sebagian besar infeksi nosokomial dapat dicegah dengan
strategi-strategi yang sudah ada:
ü Menaati praktek-praktek pencegahan infeksi yang direkomendasikan,
khususnya cuci tangan dan pemakaian sarung tangan.
ü Memperhatikan proses dekontaminasi dan pembersihan alat-alat kotor
yang diikuti dengan sterilisasi dan desinfeksi.
ü Meningkatkan keamanan pada area-area yang beresiko tinggi terjadi
infeksi nosokomial.
B. Terminologi
Infeksi adalah proses dimana seseorang yang rentan terkena invasi
mikro organisme pathogen, berkembang biak dan menyebabkan sakit.
Mikro organisme, adalah agen penyebab infeksi berupa bakteri, virus,
jamur, ricketsia, dan parasit.
Infeksi Nosokomial, yaitu infeksi yang diperoleh ketika seseorang
dirawat di rumah sakit, tanpa adanya tanda-tanda infeksi sebelumnya dan minimal
terjadi 3x24 jam sesudah masuk kuman.
Bagian II
PATOGENESIS
A. Patogenesis
Interaksi antara pejamu (pasien, perawat, dokter,
dll), agen (mikroorganisme pathogen) dan lingkungan (lingkungan rumah sakit,
prosedur pengobatan, dll) menentukan seseorang dapat terinfeksi atau tidak.
Untuk bakteri, virus, dan
agen infeksi lainya agar bertahan hidup dan menyebabkan penyakit tergantung
dari factor-faktor kondisi tertentu harus ada:
Sebagaimana tampak pada
gambar ini, suatu penyakit memerlukan keadaan tertentu untuk dapat menyebar ke
orang lain:
ü Harus ada agen
ü Harus ada waduk / pejamu : manusia, binatang, tumbuhan-tumbuhan,
tanah, udara, dan air.
ü Harus ada lingkungan yang cocok di luar pejamu untuk dapat hidup.
ü Harus ada orang untuk dapat terjangkit. Untuk dapat terjangkit
penyakit infeksi harus rentan terhadap penyakit itu.
ü Agen harus punya jalan untuk dapat berpindah dari pejamunya untuk
menulasi pejamu berikutnya, terutama melalui: udara, darah atau cairan tubuh,
kontak, fektal-oral, makanan, binatang atau serangga.
Mikroorganisme menjadi penyebab infeksi nosokomial
tergantung dari factor dalam agen:
ü Kemampuan menempel pada permukaan sel pejamu
ü Dosis yang tidak efektif
ü Kemampuan untuk invasi dan reproduksi
ü Kemampuan memproduksi toksin
ü Kemampuan menekan system imun pejamu
Sedangkan factor dalam pejamu yang mempengaruhi timbulnya infeksi
nosokomial adalah:
ü Usia
ü Penyakit dasar
ü System imun
Dan factor lingkungan:
ü Factor fisik : suhu, kelembaban, lokasi (ICU, ruang rawat jangka
panjang, sarana air).
ü Factor biologik : serangga perantara
ü Factor social : status ekonomi, perilaku, makanan dan cara
penyajian.
B. Sumber Infeksi
Sumber infeksi nosokomial dapat dibagi dalam 4 bagian:
a.
Petugas rumah sakit (perilaku)
§ Kurang memahami cara penularan penyakit
§ Kurang memperhatikan kebersihan
§ Kurang atau tidak memperhatikan teknik aseptic dan antiseptic
§ Menderita penyakit tertentu
§ Tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan
b.
Alat yang dipakai
§ Kotor
§ Rusak
§ Penyimpanan kurang baik
§ Dipakai berulang-ulang
§ Kadaluarsa
c.
Pasien
§ Kondisi yang sangat lemah
§ Kebersihan kurang
§ Menderita penyakit kronis
§ Menderita penyakit menular
d.
Lingkungan
§ Tidak ada sinar matahari / penerangan yang masuk
§ Ventilasi udara kurang baik
§ Ruangan lembab
§ Banyak serangga.
C. Transmisi Mikroorganisme
Transmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat terjadi
dengan berbagai cara, bias lebih dari satu cara. Ada
lima cara
terjadinya trasmisi mikroorganisme yaitu: contact, droplet, airbone, common
vehicle, dan vertorborne.
Contact transmission
Contact
transmission adalah yang paling sering pada infeksi
nosokomial, dibagi dalam dua grup; direct contact, dan indirect contact.
Direct contact (kontak langsung): transmisi mikroorganisme langsung permukaan
tubuh ke permukaan tubuh, seperti saat memandikan, membalikkan pasien, kegiatan
asuhan keperawatan yang menyentuh permukaan tubuh pasien, dapat juga terjadi di
antara dua pasien.
Indirect contact (kontak tidak langsung): kontak dengan kondisi orang yang lemah
melalui peralatan yang terkontaminasi, seperti peralatan instrument yang
terkontaminasi : jarum, alat dressing, tangan yang terkontaminasi tidak dicuci,
dan sarung tangan tidak diganti di antara pasien.
Droplet transmission (Percikan)
Secara teoritikal merupakan bentuk kontak transmisi,
namun mekanisme transfer mikroorganisme pathogen ke pejamu agak ada jarak dari transmisi
kontak. Mempunyai partikel sama atau lebih besar dari 5 mikron. Droplet
transmisi dapat terjadi ketika batuk, bersin, beribicara, dan saat melakukan
tindakan khusus, seperti saat melakukan pengisapan lendir, dan tidakan
broschoskopi.
Transmisi terjadi ketika droplet berisi mikroorganisme
yang berasal dari orang terinfeksi dalam jarak dekat melalui udara menetap /
tinggal pada konjunctiva, mukosa, hidung, dan mulut yang terkena. Karena
droplet tidak meninggalkan sisa di udara, maka penangan khusus udara dan
ventilasi tidak diperlukan untuk mencegah droplet transmisi.
Airbone transimisi (melalui udara)
Transimisi melalui udara yang
terkontaminasi dengan mikroorganisme pathogen, memiliki partikel kurang atau
sama dengan 5 mikron. Transmisi terjadi ketika menghirup udara yang mengandung
mikroorganisme pathogen. Mikroorganisme dapat tinggal di udara beberapa waktu
sehingga penanganan khusus udara dan ventilasi perlu dilakukan. Mikroorganisme
yang ditransmisi melalui udara adalah mycrobacterium
tubercolusis, rubeola, dan varicella
virus.
Common Vehicle Transmission
Transmisi mikroorganisme melalui makanan, minuman, alat kesehatan,
dan peralatan lain yang terkontaminasi dengan mikroorganisme pathogen.
Vectorborne transmission
Transmisi mikroorganisme melalui vector seperti nyamuk, lalat,
tikus, serangga lainya.
Bagian III
UPAYA PENGENDALIAN INFEKSI
NOSOKOMIAL
Pengendalian infeksi nosokomial merupakana kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan denga tujuan untuk menurunkan kejadian
infeksi nosokomial.
Pengendalian infeksi sudah dilakukan sejak lama di AS sedangkan di Indonesia
baru mulai dilakukan pada tahun 1980an dan dianggap sebagai salah satu
managemen resiko dan kendali mutu pelayanan rumah sakit.
Upaya pengendalian / pemberantasan infeksi nosokomial terutama
ditujukan pada penurunan laju infeksi (VAP, ISK, decubitus, MRSA, dll). Untuk
itu perlu disusun pedoman standar / kebijakan pengendalian infeksi nosokomial,
meliputi:
- Penerapan standar precaution (cuci
tangan dan penggunaan alat pelindung)
- Isolasi precaution
- Antiseptik dan aseptic
- Desinfeksi dan sterilisasi
- Edukasi
- Antibiotik
- Survelians
Tujuan pengendalian infeksi nosokomial ini terutama :
- Melindungi pasien
- Melindungi tenaga kesehatan, pengunjung
- Mencapai cost effective
Dampak yang dapat dirasakan apabila terjadi infeksi nosokomial
adalah sebagai berikut:
- Bagi pasien
ü LOS lebih panjang
ü Cost / pembiayaan meningkat
ü Penyakit lain yang mungkin lebih berbahaya daripada penyakit
dasarnya
ü GDR meningkat
- Bagi staff: medis dan non medis
ü Beban kerja bertambah
ü Terancam rasa aman dalam menjalankan tugas / pekerjaan
ü Memungkinkan terjadi tuntutan malpraktek
A. Penerapan Standar
Precaution
Standar precaution pertama kali disusun pada tahun
1985 oleh CDC dengan tujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari terinfeksi
HIV dan infeksi melalui darah, seperti hepatitis virus.
Standar precaution adalah petunjuk untuk mencegah
penularan infeksi melalui darah dan cairan tubuh tanpa memandang diagnosa
medisnya atau dengan kata lain diterapkan pada semua pasien yang berobat /
dirawat di rumah sakit.
Prinsip Dasar Standar
Precaution:
Bahwa darah dan semua jenis cairan tubuh, secret,
eksreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir penderita dianggap sebagai
sumber potensial untuk penularan infeksi termasuk HIV.
Komponen utama standar precaution :
1.
Cuci tangan
2.
Penggunaan alat pelindung:
sarung tangan, masker, kaca mata, apron, sepatu bot.
- Cuci tangan
Pedoman mencuci tangan telah memberikan anjuran
tentang kapan dan bagaimana melakukan cuci tangan atau menggosok tangan untuk
pembedahan, telah mengalami perubahan secara cepat pada masa 15 tahun terakhir,
dengan munculnya AIDS pada tahun 1980 an.
Cuci tangan dengan sabun biasa dan air sama efektifnya
dengan cuci tangan memakai sabun antimicrobial (Pereira, Lee dan Wade 1990).
Pittet dan kawan-kawan pada tahun 2000, melaporkan
hasil penelitian tentang kepatuhan tenaga kesehatan dalam mencuci tangan, bahwa
ada 4 alasan mengapa kepatuhan mencuci tangan masih kurang, yaitu:
ü Skin irritation
ü Inaccessible handwashing supplies
ü Being too bussy
ü No thinking abut it
Kepatuhan mencuci tangan di ICU (Spraot, I,J, 1994) kurang dari 50%,
sedangkan Galleger 1999 melaporkan bahwa kepatuhan mencuci tangan tersebut :
Individu
|
Patuh
%
|
Tidak
Patuh %
|
Dokter
|
33
|
67
|
Perawat
|
36
|
64
|
Tenaga
kesehatan lainya
|
43
|
57
|
Mahasiswa
perawat
|
0
|
100
|
Kegagalan untuk melakukan kebersihan dan kesehatan
tangan yang tepat dianggap sebagai sebab utama infeksi nosokomial yang menular
dan penyebaran mikroorganisme multiresisten serta diakui sebagai kontributor
yang penting terhadap timbulnya wabah (Boyce dan Pittet, 2002), hal ini
disebabkan karena pada lapisan kulit terdapat flora tetap dan sementara yang
jumlahnya sangat banyak.
Flora tetap hidup pada lapisan kulit yang lebih dalam
dan juga akar rambut, tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, walaupun dengan
dicuci dan digosok keras. Flora tetap, berkemungkinan kecil menyebabkan infeksi
nosokomial, namun lapisan dalam tangan dan kuku jari tangan sebagian besar
petugas dapat berkolonisasi dengan organisme yang dapat menyebabkan infeksi
seperti : s.Auresus, Basili Gram
Negative, dan ragi. Sedangkan flora sementara, ditularkan melalui kontak
dengan pasien, petugas kesehatan lainya, atau permukaan yang terkontaminasi.
Organisme ini hidup pula pada permukaan atas kulit dan sebagian besar dapat
dihilangkan dengan mencucinta memakai sabun biasa dan air. Organisme inilah
yang sering menyebabkan infeksi nosokomial (JHPIEGO, 2004).
Secara umum langkah cuci tangan dikenal dengan seven step cuci tangan :
1)
Telapak tangan dengan telapak
tangan
2)
Telapak kanan di atas punggung
tangan kiri dan sebaliknya
3)
Jari saling berkaitan
4)
Punggung jari pada telapak
tangan lainya
5)
Jempol digosok memutar oleh
telapak tangan lainya
6)
Jari-jari menguncup digosokkan
memutar pada telapak tangan lainya
7)
Cuci pergelangan tangan
Cuci tangan digolongkan atas 3 bagian :
1)
Cuci tangan rutin / social
2)
Cuci tangan procedural
3)
Cuci tangan pembedahan
Ketiga bagian cuci tangan di atas dilakukan sesuai “seven step” cuci tangan.
Cuci tangan rutin dilakukan dengan tujuan cuci tangan
adalah proses pembuangan kotoran dan debu secara mekanis dari kulit kedua belah
tangan dengan memakai sabun dan air.
Prosedur cuci tangan rutin :
ü Basahi tangan seluruhnya di bawah air mengalir
ü Gunakan sabun biasa (bahan antiseptic tidak perlu) yang memiliki pH
normal di telapak tangan yang sudah dibasahi.
ü Buat busa secukupnya.
ü Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari dengan sabun à ikuti 7 langkah (seven step)
selama 10 – 15 detik dengan memperhatikan daerah di bawah kuku tangan dan di
antara jari-jari.
ü Bilas dengan air bersih
ü Tutup kran dengan siku / tissue (hindarkan menyentuh benda di
sekitar / kran setelah cuci tangan )
ü Keringkan dengan handuk kering / kertas tissue.
Cuci tangan rutin bagi tenaga kesehatan, sebaiknya
dilakukan pada :
§ Waktu tiba di RS
§ Sebelum masuk ruang rawat dan setelah meninggalkan ruang rawat
§ Di antara 2 tindakan atau pemeriksaan
§ Di antara pasien
§ Setelah melepas sarung tangan
§ Sebelum dan sesudah makan
§ Setelah membersihkan sekresi hidung
§ Jika tangan kotor
§ Setelah ke kamar kecil
§ Sebelum meninggalkan rumah sakit
Cuci tangan
antiseptic dilakukan dengan tujuan menghilangkan
kotoran, debu serta mengurangi baik flora sementara maupun flora tetap menggunakan
sabun yang mengandung antiseptic (klorheksidin, iodofor, atau triclosan) selain
sabun biasa.
Prosedur cuci tangan antiseptic:
ü Basahi tangan seluruhnya di bawah air mengalir
ü Gunakan sabun anti microbial di telapak tangan yang sudah dibasahi
ü Buat busa secukupnya
ü Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari dengan sabun à ikuti 7 langkah cuci tangan selama 1 menit (60 detik)
ü Bilas dengan air bersih
ü Tutup kran dengan siku / tissue
ü (hindarkan menyentuh benda di sekitar / kran setelah cuci tangan )
ü Keringkan dengan handuk kering / tissue.
Cuci tangan procedural / antiseptic dilakukan pada waktu :
§ Memeriksa / merawat pasien
yang rentan (mis. Bayi premature, pasien manula, penderita AIDS stadium lanjut)
§ Melakukan prosedur inversive.
Seperti pemasangan IV line, kateter, dll)
§ Meninggalkan ruang isolasi (mis. Hepatitis atau penderita yang kebal
terhadap obat seperti MRSA).
Cuci tangan
bedah yaitu menghilangkan kotoran, debu, organisme
sementara secara mekanikal dan mengurangi flora tetap selama pembedahan. Tujuanya
adalah mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme dari kedua belah tangan
dan lengan dokter bedah dan asistenya.
Selama bertahun-tahun tangan pra bedah menghendaki
sekurang-kurangnya 6-10 menit penggosokan dengan sikat / spon antiseptic namun
sejumlah penelitian melaporkan bahwa iritasi kulit akibat penggosokan dapat
mengakibatkan meningkatnya pergantian bacteri dari kedua telapak tangan
(Dineen, 1966; Kakuchi-Numagami dkk, 1999)
Sikat dan spon tidak dapat mengurangi jumlah bakteri
pada kedua telapak tangan petugas hingga tingkat yang dapat diterima. Misalnya
cuci tangan selama 2 menit dengan sabun dan air bersih diikuti dengan
penggunaan khlorheksidin 2 – 4% atau povidon iodine 7,5 – 10% sama efektifnya
dengan cuci tangan selama 5 menit dengan sabun antiseptic (Deshmukh, Kramer,
dan Kjellberg 1996; Pereira, Lee dan Weda 1997)
Prosedur cuci tangan pembedahan:
ü Pakailah tutup kepala dan masker
ü Lepaskan semua perhiasan yang ada di tangan
ü Basahi tangan seluruhnya di bawah air mengalir sampai siku
ü Gunakan sabun anti microbial 2 – 5 cc di telapak tangan yang sudah
dibasahi
ü Buat busa secukupnya
ü Gosok tangan termasuk kuku dan sela jari dengan sabun à ikuti 7 langkah cuci tangan selama 5 menit pertama kemudian di
ulang selama 3 menit
ü Usahakan posisi tangan lebih tinggi dari pada siku
ü Bilas dengan air bersih dengan tetap posisi tangan lebih tinggi dari
siku
ü Tutup kran dengan siku
ü Hindarkan menyentuh benda di sekitar setelah mencuci tangan
ü Keringkan dengan handuk / tissue steril
Penggosok Antiseptik
Tangan
Bukan pengganti cuci tangan, akan tetapi antiseptis
tangan dilakukan hanya dengan tujuan mengurangi baik flora sementara atau
tetap. Teknik antiseptic tangan sama dengan teknik mencuci tangan biasa.
Penggosok antiseptic tangan yang dianjurkan adalah
larutan berbasisi alcohol 60 – 90% (Larson, 1990; Pierce, 1990)
Teknik melakukanya adalah :
Ø Gunakan cairan antiseptis secukupnya untuk melumuri seluruh
permukaan tangan dan jari tangan
Ø Gosokkanlah larutan tersebut dengan cara menekan pada kedua belah
telapak tangan khususnya di antara jari-jari dan bawah kuku hingga kering.
Isu – isu dan pertimbangan
lain yang berkaitan dengan kesehatan dan kebersihan tangan :
1)
Sarung tangan : bahwa tangan
tidak memberikan perlindungan penuh terhadap kontaminasi tangan, bakteri dan
pasien ditemukan hingga 30% petugas yang memakai sarung tangan sewaktu merawat
pasien. (Kotilanen dkk, 1989). Doubeling dan koleganya pada tahun 1988
menemukan bahwa sejumlah bakteri yang cukup banyak pada kedua tangan petugas
yang tidak mengganti sarung tangan di antara pasien dengan pasien lainya,
tetapi hanya mencuci tangan memakai sarung tangan.
2)
Pelumas dan krim tangan.
Dalam upaya untuk meminimalkan dermatitis kontak akibat seringkali
mencuci tangan (>30 kali per shift)
pelembab / sabun antiseptis (alcohol 60 – 90%) kurang mengiritasi kulit.
Penggunaan pelumas tangan atau krim pelembab pada kulit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemakaian pelumas atau krim yang teratur (sekurang-kurangnya
2 kali sehari) dapat membantu mencegah dan merawat dermatitis kontak
(McCormickk dkk, 2000).
3)
Kulit pecah dan lesi lainya
Kulit kuku, tangan, dan lengan bawah harus bebas lesi dan pecah
kulit. Luka dan lecet harus ditutup dengan pembalut tahan air. Apabila tidak
mungkin membalut, bagi petugas bedah dengan lesi di kulit tangan / lengan bawah
sebaiknya tidak melakukan pembedahan hingga lesi tersebut sembuh.
4)
Kuku jari :
Penelitian membuktikan bahwa di sekitar pangkal kuku (ruang
subungal) mengandung jumlah mikrobia terbanyak dari seluruh bagian tangan
(McGinley, Larson dan Leydon 1988), kuku panjang dapat berfungsi sebagia waduk
bagi basil gram negative (P.Aeruginosa), ragi dan pathogen lainya (Hedderwick,
2000)
5)
Kuku palsu yang dipakai oleh
petugas kesehatan dapat menambah penularan infeksi nosokomial (Hedderwick,
2000)
6)
Cat kuku: tidak ada larangan
untuk memakai cat kuku, tetapi tenaga kesehatan sebaiknya memakai cat kuku
cerah yang baru dipoles, cat kuku yang berwarna gelap akan menghalangi
penglihatan dan pembersihan terhadap kotoran dan debu di bawah kuku jari.
7)
Perhiasan:
Sejumlah studi telah mengungkapkan bahwa kulit di balik cincin lebih
banyak terkontaminasi daripada arua
kulit yang sama tanpa cincin (Jacobson dkk, 1985), tetapi pada saat ini belum
diketahui apakah memakai cincin akan menyebabkan penularan pathogen yang besar
atau tidak.
- Alat Pelindung diri
a.
Sarung Tangan
Cuci tangan dan penggunaan sarung tangan merupakan komponen kunci
(penerapan standar precaution standar kewaspadaan) dalam menimialkan penularan
penyakit serta mempertahankan lingkungan bebas infeksi (Garner dan Favero
1986).
Ø Mengurangi resiko petugas terkena infeksi bacterial dari pasien
Ø Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien
Ø Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan
mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke lainya (kontaminasi
langsung)
Sarung tangan dipakai pada waktu melakukan kontak
langsung dengan benda / alat yang diduga / terbukti secara nyata terkontaminasi
oleh cairan tubuh penderita (darah, pus, urine, faeces dan muntahan), melakukan
tidakan-tindakan invasive.
Penggunaan sarung tangan bukan pengganti cuci tangan.
Sarung tangan terdiri dari 2 macam :
1)
Steril
2)
Non steril / re-use
Sarung tangan steril dipakai pada waktu melakukan tindakan invasive.
Sedang sarung tangan non steril digunakan pada waktu melakukan tindakan non
invasive yang diduga atau secara nyata terdapat cairan tubuh, sebelum kontak
dengan alat / benda yang terkontaminasi cairan tubuh . à lihat table penerapan standar precaution
b.
Masker, pelindung mata dan
wajah
1)
Memakai masker selama melakukan
tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan terkena percikan darah /
cairan tubuh pasien
2)
Melepaskan masker setelah
dipakai dan segera mencuci tangan.
c.
Gaun / apron
Ø Memakai gaun selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang
memungkinkan terkena percikan darah atau cairan tubuh pasien.
Ø Segera melepas gaun dan cuci tangan untuk mencegah berpindahnya
mikroorganisme ke pasien dan lingkunganya.
d.
Kegiatan lainya tentang kapan
cuci tangan dan penggunaan alat pelindung dilakukan ?
No.
|
Kegiatan
|
Cuci
tangan
|
Sarung tangan
|
Jubah/
Celemek
|
Masker/
Google
|
|
Steril
|
biasa
|
|||||
Perawatan umum
|
||||||
1.
|
Tanpa luka
|
|||||
§ Memandikan / bedding
|
√
|
√
|
||||
§ Reposisi
|
√
|
√
|
||||
2.
|
Luka terbuka
|
|||||
§ Memandikan / bedding
|
√
|
√
|
K/P
|
|||
§ Reposisi
|
√
|
√
|
K/P
|
|||
3.
|
Perawatan perianal
|
√
|
√
|
√
|
||
4.
|
Perawatan mulut
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
|
5.
|
Pemeriksaan fisik
|
√
|
K/P
|
|||
6.
|
Penggantian balutan
|
|||||
§ Luka operasi
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
||
§ Luka decubitus
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
||
§ Central line
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
||
§ Arteri line
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
||
§ Cateter intravena
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
||
Tindakan
Khusus.
|
||||||
7.
|
Pasang cateter urine
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
|
8.
|
Ganti bag urine / ostomil
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
|
9.
|
Pembilasan lambung
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
|
10.
|
Pasang NGT
|
√
|
√
|
√ K/P
|
||
11.
|
Mengukur suhu axilia
|
√
|
K/P
|
|||
12.
|
Mengukur suhu rectal
|
√
|
√
|
|||
13.
|
Kismia
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
|
14.
|
Memandikan jenazah
|
√
|
√
|
K/P
|
K/P
|
|
Perawatan saluran nafas
|
||||||
15.
|
Tubbing ventilator
|
√
|
√
|
K/P
|
||
16.
|
Suction
|
√
|
√
|
K/P
|
√ K/P
|
|
17.
|
Mengganti
plaster ETT
|
√
|
√
|
K/P
|
√ K/P
|
|
18.
|
Perawatan TT
|
√
|
K/P
|
√√
|
||
19.
|
PF dengan stethoscope
|
√
|
K/P
|
|||
20.
|
Resusitasi
|
√
|
√
|
√
|
√√
|
|
21.
|
Airway management
|
√
|
√
|
√
|
||
Perawatan Vasculer
|
||||||
22.
|
Pemasangan infuse
|
√
|
Lebih baik
|
√
|
K/P
|
K/P
|
23.
|
Pengambilan darah vena
|
√
|
Lebih baik
|
√
|
K/P
|
K/P
|
24.
|
Punksi arteri
|
√
|
Lebih baik
|
√
|
K/P
|
K/P
|
25.
|
Penyuntikan IM / IV / SC
|
√
|
√
|
|||
26.
|
Penggantian botol infuse
|
√
|
||||
27.
|
Pelesapan dan penggantian selang infuse
|
√
|
√
|
|||
28.
|
Percikan darah / cairan tubuh
|
√
|
√
|
√
|
||
29.
|
Membuang sampah medis
|
√
|
√
|
√
|
||
30.
|
Penanganan alat tenun.
|
√
|
√
|
√
|
K/P
|
Kesehatan
karyawan dan daerah yang terinfeksi pathogen
Untuk mencegah luka tusuk benda
tajam :
§ Berhati-hati saat menangani jarum , scapel, instrument yang tajam
atau alat kesehatan lainya yang menggunakan permukaan tajam.
§ Jangan pernah menutup kembali jarum bekas pakai atau memanipulasinya
dengan kedua tangan
§ Jangan pernah membengkokkan / mematahkan jarum
§ Buanglah benda tajam atau jarum bekas pakai ke wadah yang tahan
tusuk dan air, dan tempatkan pada area yang mudah dijangkau dari area tindakan.
§ Gunakan mouthpieces, resusitasi bags, atau peralatan ventilasi lain
sebagai alternative mulut ke mulut.
B. Isolasi Precaution
Early Isolation Practise
Isolation precaution pertama kali dipublikasikan di AS
pada tahun 1877, dimana pada waktu itu buku pegangan rumah sakit
merekomendasikan penempatan pasien infeksi di fasilitas terpisah. Penempatan
pasien penyakit infeksi pada fasilitas terpisah pada akhirnya menjadi dikenal
sebagai rumah sakit penyakit infeksi. Walaupun demikian pasien penyakit infeksi
dipisahkan dari pasien penyakit non infeksi, transmisi infeksi nosokomial
berlangsung terus, sebab pasien penyakit infeksi tidak dipisahkan menurut jenis
penyakit infeksinya.
Selanjutnya petugas di
rumah sakit penyakit infeksi mulai memikirkn masalah transmisi penyakit infeksi
nosokomial, dengan menata menempatkan pasien penyakit infeksi yang sama
jenisnya dan melakukan teknik aseptic pada prosedur tindakan pada tahun 1890 –
1900.
Pada tahun 1910 praktek
isolasi di AS diubah dengan memperkenalkan system kubikel, dimana pasien pada
system kubikel ini pasien penyakit infeksi ditempatkan di ruang multiple bed.
Pada system kubikel petugas rumah sakit memakai gaun terpisah dan mencuci
tangan dengan larutan antiseptic setelah kontak dengan pasien dan melakukan
desinfeksi peralatan yang terkontaminasi dengan pasien. Prosedur perawatan ini
dilakukan untuk mencegah transmisi mikroorganisme pathogen kepada pasien lain
dan petugas rumah sakit dan akhirnya prosedur ini dikenal sebagai “barrier
nursing”.
Dengan menggunakan
isolasi system kubikel dan prosedur “barrier nursing” maka rumah sakit umum
mulai mengambil alternative menempatkan beberapa pasien di rumah sakit penyakit
infeksi.
Sepanjang tahun 1950 di
AS rumah sakit penyakit infeksi mulai tutup kecuali khusus untuk pasien infeksi
tuberculosis. Pada pertengahan tahun 1960 rumah sakit penyakit infeksi
tuberculosis juga mulai tutup, Karena pasien-pasien tuberculosis lebih menyukai
rumah sakit umum dan rawat jalan. Akhirnya pada tahun 1960 pasien penyakit
infeksi ditempatkan di rumah sakit umum dengan menempatkan di ruang isolasi
satu kamar atau multiple-patient room.
CDC Isolation Manual
Pada tahun 1970 di Centers of Dissease Control (CDC)
mempublikasikan secara detail menual isolasi “isolation techniques for Use in Hospital” untuk membantu rumah
sakit umum dalam isolation precaution. Direvisi pada tahun 1975. manual ini
dapat diaplikasikan pada rumah sakit kecil dengan sumber-sumber terbatas.
Manual ini memperkenalkan isolation precaution dengan
system kategori. Direkomendasikan bajwa rumah sakit menggunakan satu dari tujuh
kategori isolasi. Ketujuh kategori isolasi adalah: Stric Isolation, Respiratory Isolation, Protective isolation, Enteric
Isolation, Wound and Skin Precaution, Discharge precaution, dan Blood
Precaution. Pada pertengahan tahun 1970, 93% rumah sakit di US
mengadopsi Isolation Manual ini.
Pada tahun 1980 rumah sakit mengalami endemic dan
epidemic masalah infeksi nosokomial, beberapa disebabkan oleh multi-drug
resistant mikroorganisme, adanya pathogen yang baru dikenal, yang memerlukan
isolation precaution yang berbeda dari kategori isolasi yang ada. Adanya
peningkatan kebutuhan isolasi precaution ditunjukkan lebih spesifik pada
transmisi nosokomial di unit perawatan khusus / intensif. Selanjutnya sesuai
dengan epidemiologi dan metode transmisi beberapa penyakit infeksi, CDC perlu
merevisi isolation manual.
Pada tahun 1981 – 1983 CDC Hospital Infection Program bersama spesialis penyakit infeksi, pediatric
bedah, epidemiologi rumah sakit, petgas pengendalian infeksi melakukan revisi Isolation Manual.
CDC Isolation Guideline
Pada tahun 1983 “CDC guideline for Isolation Practice in Hospital” dipublikasikan. Pada Isolation Guideline, ada beberapa kategori
yang dimodifikasi. Kategori Blood
Precaution yang pada awalnya hanya
ditujukan pada pasien dengan kronik Hepatitis B virus diubah menjadi Blood and Body Fluid Precaution dan
diperluas dengan memasukkan AIDS dan cairan tubuh. Kategeri Protective Isolation dihapus, sehingga Isolation Guideline terdiri dari strict Isolation, Contact Isolation, Respiratory Isolation,
Tuberculosis Isolation, Enteric Isolation, Drainage / Secretion Precaution, dan
Blood and Body Fluid Precaution.
A New Isolation Guideline
Guideline for
Isolation Precaution in Hospital telah direvisi pata tahun 1990. Revisi Isolation Guideline terdiri dari dua
baris precaution yaitu standard precaution, dan Transmission based
Precaution.
C. Penerapan Isolasi
Precaution di Rumah Sakit
Isolation precaution merupakan bagian integral dari
program pengendalian infeksi nosokomial
Tujuan
Isolation Precaution bertujuan untuk mencegah
transmisi mikroorganisme pathogen dari satu pasien ke pasien lain dan dari
pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya. Karena agen dan host lebih sulit
dikontrol maka pemutusan mata rantai infeksi dengan cara Isolation Precaution
sangat diperlukan.
Airborne Precaution
a.
Penempatan pasien
Tempatkan pasien di kamar tersendiri yang mempunyai persyaratan
sebagai berikut:
ü Tekanan udara kamar negative dibandingkan dengan area skitarnya.
ü Pertukaran udara 6 – 12 kali/jam.
ü Pengeluaran udara keluar yang tepat mempunyai penyaringan udara yang
efisien sebelum udara dialirkan ke area lain di rumah sakit.
ü Selalu tutup pintu dan pasien berada di dalam kamar
ü Bila kamar tersendiri tidak ada, tempatkan pasien dalam satu kamar
dengan pasien lain dengan infeksi mikroorganisme yang sama atau ditempatkan
secara kohort.
ü Tidak boleh menempatkan pasien satu kamar dengan infeksi berbeda.
b.
Respiratory Protection
ü Gunakan perlindungan pernapasan (N 95 respirator) ketika memasuki
rungan pasien yang diketahui infeksi pulmonary tuberculosis
ü Orang yang rentan tidak diberarkan memasuki ruang pasien yang
diketahui atau diduga mempunyai measles (rubeola) atau varicella, mereka harus
memakai respiratory protection (N 95) respirator.
ü Orang yang immune terhadap measles (rubeola), atau varicella tidak
perlu memakai perlindungan pernafasan.
c.
Patient Transport
ü Batasi area gerak pasien dan transportasi pasien dari kamar, hanya
tujuan yang penting saja.
ü Jika berpindah atau transportasi gunakan masker bedah pada pasien
Droplet Precaution
a.
Penempatan Pasien
Ø Tempatkan pasien di kamar tersendiri
Ø Bila pasien tidak mungkin di kamar tersendiri, tempatkan pasien
secara kohart
Ø Bila hal ini tidak memungkinkan, tempatkan pasien dengan jarak 3 ft
dengan pasien lainya
b.
Masker
Ø Gunakan masker bila bekerja dengan jarak 3 ft
Ø Beberapa rumah sakit menggunakan masker jika masuk ruangan
c.
Pemindahan pasien
Ø Batasi pemindahan dan transportasi pasien dari kamar pasien, kecuali
untuk tujuan yang perlu
Ø Untuk meminimalkan penyebaran droplet selama transportasi, pasien
dianjurkan pakai masker
Contact Precaution
a.
Penempatan pasien
ü Tempatkan pasien di kamar tersendiri
ü Bila tidak ada kamar tersendiri, tempatkan pasien secara kohart
b.
Sarung tangan dan cuci tangan.
ü Gunakan sarung tangan sesuai prosedur
ü Ganti sarung tangan jika sudah kontak dengan peralatan yang
terkontaminasi dengan mikroorganisme
ü Lepaskan sarung tangan sebelum meninggalkan ruangan
ü Segera cuci tangan dengan antiseptic / antimicrobial atau handscrub
ü Setelah melepas sarung tangan dan cuci tangan yakinkan bahwa tangan
tidak menyentuh peralatan atau lingkungan yang mungkin terkontaminasi, untuk
mencegah berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain.
c.
Gaun
ü Pakai gaun bersih / non steril bila memasuki ruang pasien bial
diantisipasi bahwa pakaian akan kontak dengan pasien, permukaan lingkungan atau
peratalan pasien di dalam kamar atau jika pasien menderita inkontaneia, diare,
fleostomy, colonostomy, luka terbuka
ü Lepas gaun setelah meninggalkan ruangan.
ü Setelah melepas gaun pastikan pakaian tidak mungkin kontak dengan permukaan lingkungan
untuk menghindari berpindahnya mikroorganisme ke pasien atau lingkungan lain
d.
Transportasi pasien
ü Batasi pemindahan pasien dan transportasi pasien dari kamar, hanya
untuk tujuan yang penting saja. Jika pasien harus pindah atau keluar dari
kamarnya, pastikan bahwa tindakan pencegahan dipelihara untuk mencegah dan
meminimalkan resiko transmisi mikroorganisme ke pasien lain atau permukaan
lingkungan dan peralatan.
Peralatan Perawatan Pasien
Ø Jika memungkinkan gunakan peralatan non kritikal kepada pasien
sendiri, atau secara kohort
Ø Jika tidak memungkinkan pakai sendiri atau kohort, lakukan
pembersihan atau desinfeksi sebelum dipakai kepada pasien lain.
Recommendation Isolation
Precaution
“administrative Controls”
1.
Pendidikan
Mengembangkan system pendidikan tentang pencegahan kepada pasien,
petugas, dan pengunjung rumah sakit untuk meyakinkan mereka dan bertanggung
jawab dalam menjalankanya.
Adherence to Precaution (ketaatan terhadap tindakan pencegahan)
2.
Secara periodic menilai
ketaatan terhadap tindakan pencegahan dan adanya perbaikan langsung.
BAGIAN IV
PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL
Hemodialisis merupakan pilihan pengobatan bagi pasien yang mengalami
gagal ginjal tahap akhir, selain itu juga merupakan metode awal pengobatan
sampai menjalani transplantasi atau peritoneal dialysis (PD).
Untuk fasilitas HD, vascular akses
melalui autologus arteriovenous (AV) Fistula, CVC External Cuff merupakan jalan
masuknya infeksi aliran darah (BSIs : Blood Stream Infections). 11 rumah sakit
dari 9 propinsi di AS dilakukan surveillance dari Desember 1998 – Mei 1999,
dari 233.158 prosedur dialysis selama 6 bulan ditemukan 184 BSIs (0,14%). 57
menunjukkan BSIs dan 127 menunjukkan masalah HD melalui AV Fistula seperti
demam (45,9% dari prosedur dialisisi).
Melalui kultur darah ditemukan 4
mikroorganisme dari 184 BSIs yakni :
S.Aureus (36,8%), Coaulosis Negative Staphylococus (35,1%), Enterococus species
(98%), 10 % dari S.Aureus menunjukkan MRSA, tidak ditemukan VRE.
Dalam diskusi, infeksi yang didapat
merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai Negara.
Infeksi nosokomial merupakan
kontributror penting pada morbiditas dan mortalitas. Infeksi akan lebih penting
sebagai masalah kesehatan masyarakat dengan dampat ekonomis dan manusiawi
karena:
ü Peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk
ü Semakin seringnya masalah dengan gangguan imunitas
ü Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika (Ducci 1995).
Infeksi
nosokomial merupakan focus penting pencegahan infeksi di negara berkembang.
Infeksi ini adalah penyebab utama penyakit dan kematian yang dapat dicegah,
yang paling penting adalah:
ü Infeksi aliran darah
ü Peritonitis (CAPD)
ü Hepatitis (HD)
Pengelolaan benda-benda tajam
Benda-benda
tajam yang sering dijumpai adalah :
- Jarum suntik / jarum hipodermik
- Jarum jahitan
- Silet
- Pisau scapel
Memerlukan penanganan khusus karena benda-benda tajam ini dapat
menyebabkan luka bagi petugas kesehatan, dan juga masyarakat sekitar jika
sampah dibuang di tempat sampah umum.
Enkapsulasi
Enkapsulasi dianjurkan sebagai cara termudah membuang benda-benda
tajam, benda tajam dikumpulkan dalam wadah tahan tusukan dan antibocor. Sesudah
¾ penuh, bahan seperti semen, pasien, atau bubuk plastic dimasukkan dalam wadah
sampai penuh. Sesudah bahan menjadi padat dan kering, wadah ditutup, disebarkan
pada tanah rendah, ditimbun dan dapat dikuburkan. Bahan sisa kimia dapat
dimasukkan bersama dengan benda-benda tajam. (WHO 1999).
Pembuangan di daerah tindakan
Ingat:
ü Untuk menghindari luka tertusuk jarum, jangan membengkokkan,
mematahkan, atau menyarugkan jarum ketika akan membuang.
ü Tempatkan container di tempat yang mudah dicapai, sehingga petugas
kesehatan tidak perlu membawa-bawa benda tajam.
Langkah-langkah:
- Jangan menyarungkan kembali penutup atau melepaskan jarum spuit
- Masukkan benda-benda tajam tersebut dalam wadah yang tahan tusukan misalnya kotak kardus tebal, botol plastic, atau kaleng berpenutup. Bukaan penutup harus cukup lebar untuk mudah memasukkan benda-benda tersebut, tatapi cukup kecil supaya sukar untuk dikeluarkan lagi. (botol cairan infuse intravena dapat digunakan tetapi mudah pecah).
- Jika wadah sudah terisi ¾, pindahkan dari area tindakan untuk dibuang.
- Waktu membuang benda-benda tajam:
- Pakailah sarung tangan rumah tangga yang tebal
- Jika container sudah ¾ penuh, tutup/sumbat atau plaster dengan rapat. Pastikan tidak ada bagian benda tajam yang menonjol keluar wadah.
- Buanglah wadah benda tajam tersebut secara dibakar, enkasulasi, atau dikubur.
- Lepaskan sarung tangan (cuci setiap hari atau setiap kali terlihat kotor dan keringkan)
- Cuci tangan dan keringkan dengan kain atau handuk bersih atau alat pengering lainya.
BAGIAN V
PENUTUP
Infeksi nosokomial merupakan masalah serius dalam pelayanan
kesehatan di rumah sakit, yang perlu mendapat perhatian khusus dalam pelayanan
rumah sakit secara keseluruhan
Upaya untuk mencegah kejadian infeksi nosokomial yang penting adalah
penerapan standar precaution baik bagi pasien, petugas, lingkungan dan alat
kesehatan, dengan tujuan untuk memutuskan rantai penularanya.
Pendidikan bagi tenaga kesehatan sangat mendukung dalam upaya
pengendalian infeksi, untuk itu pendidikan infeksi harus diberikan secara terus
menerus.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi peserta maupun pembaca.
Referensi:
1.
Tietjen, L.,dkk (terj. Saifuddin , AB ,dkk):
Panduan Pencegahan Infeksi : Untuk
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas
2.
Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi di ICU, Dep.Kes.RI, Jakarta 2004
3.
Kumpulan Makalah Kursus Dasar :
Pengendalian Infeksi Nosokomial,
PERDALIN JAYA, Jakarta ,
Februari 2005
4.
Panduan Bagi Pengendalian
Infeksi, www.ansellhealthcare.com, Ansell, 2002
5.
Australian Dendal Association, Systemic
Operating Procedures, ADA ,2003
6.
Larson, Elaine L,. RN, Phd,
FAAN, CIC,. APIC Guidline for Handwashing and Hend Antiseptic in Healt Care
Setting, Washington ,
1995.
No comments:
Post a Comment