BPH (Benigna Prostat Hipertropi)
1.
Pengertian
·
BPH adalah pembesaran adenomatous dari
kelenjar prostat (Barbara c. Long,2001)
·
Benigna
Hipertropi Prostat adalah pembesaran atau hypertropi
prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung
kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan
hydroureter (Arifyanto D,2008).
·
Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran
non-kanker (noncancerous) dari kelenjar prostat (prostate gland)
yang dapat membatasi aliran urin (kencing) dari kandung kemih (bladder)
(Adel,2008).
·
BPH
merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab
kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun(Bruner
& Suddarth, 2002)
·
BPH adalah
pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria(Dr.
Nursalam, 2006)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa Benigna Hipertropi prostat (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
yang menyumbat aliran keluar urine dan dapat menyebabkan hydronefrosis dan
hydroureter
2.
Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPh sampai sekarang belum diketahui.
Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan (Adel,
2008), Menurut Smeltzer (2002), apa yang menjadi penyebab terjadinya pembesaran
kelenjar prostat ini masih tetap menjadi mesteri, masih belum diketahui pasti,
tetapi banyak juga teori yang ditegakan untuk BPH ini seperti:
a) Teori tumor jinak
(karena komponennya)
b) Teori rasial dan factor
social,
c) Teori infeksi dan zat-
zat yang belum diketahui,
d) Teori yang berhubungan dengan aktifitas
seks dan,
e) Teori ketidakseimbangan
hormonal.
Pendapat terakhir ini sering dipakai yaiti
terjadinya ketidakseimbangan antara hormonal androgen turun maka terjadi
ketidakseimbangan estrogen menjadi lebih banyak secara relatif ataupun secara
absolut dan ini menyebabkan prostat membesar.
3. Klasifikasi
Menurut Rumahorbo (2000 : 71), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu sebagai berikut :
Menurut Rumahorbo (2000 : 71), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu sebagai berikut :
a.
Derajat Rektal
Derajat
rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah
rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi
elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata.
Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan batas atas teraba
menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram.
Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :
1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm
Gejala BPH tidak selalu sesuai dengan derajat rectal, kadang-kadang dengan rectal toucher tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat terjadi bila bagian yang membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis. Pada derajat ini klien mengeluh jika BAK tidak sampai tuntas dan puas, pancaran urine lemah, harus mengedan saat BAK, nocturia tetapi belum ada sisa urine.
b. Derajat Klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :
1). Normal sisa urine adalah nol
2). Derajat I sisa urine 0-50 ml
3). Derajat II sisa urine 50-100 ml
4). Derajat III sisa urine 100-150 ml
5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali.
Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
c. Derajat Intra Vesikal
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram, panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.
d. Derajat Intra Uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.
Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :
1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm
Gejala BPH tidak selalu sesuai dengan derajat rectal, kadang-kadang dengan rectal toucher tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat terjadi bila bagian yang membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis. Pada derajat ini klien mengeluh jika BAK tidak sampai tuntas dan puas, pancaran urine lemah, harus mengedan saat BAK, nocturia tetapi belum ada sisa urine.
b. Derajat Klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :
1). Normal sisa urine adalah nol
2). Derajat I sisa urine 0-50 ml
3). Derajat II sisa urine 50-100 ml
4). Derajat III sisa urine 100-150 ml
5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali.
Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
c. Derajat Intra Vesikal
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram, panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.
d. Derajat Intra Uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.
4.
Patofisiologi
a) Prosen penuaan dan
adanya sirkulasi androgen membutuhkan perkembangan BPH.
b) Bentuk nodular jaringan
prostat mengalami pembesaran
c) Normalnya jaringan yang
tipis dan fibrous pada permukaan kapsul prostat menjadi spons menebal dan
membesar
d) Uretra protastik menjadi
tertekan dan sempit menyebabkan kandung kemih menjadi kencang untuk bekerja
lebih keras mengeluarkan urine
e) Efek obstruksi yang lama
menyebabkan tegangan dinding kandung kemih dan menurun elastisitasnya (Dr.
Nursalam,2006)
Penyebab BPH belum
diketahui secara pasti tetapi beberapa literatur menyebutkan bahawa BPH
kemungkinan disebabkan oleh perubahan hormon, terutama hormon testosteron.
Homon testosteron dapat mempengaruhi pertumbuhan prostat sehingga dengan
bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen
karena jumlah atau produksi hormon testoteron berkurang dan terjadi konversi
testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan
penelitian bagian yang peka terhadap hormon estrogen adalah bagian tengah dan
bagian yang peka terhadap hormon androgen bagian tepi dengan demikian pada
orang tua bagian tengah yang mengalami pembesaran hal ini disebabkan hormon
androgen berkurang sedangkan estrogen bertambah relatif. Akibat dari perubahan
hormon tersebut jaringan stromal dan elemen glandular mengalami hiperplasia
(Samsuhidajat, 2004 : 782).
5. Manifestasi
Klinis
a) Pada awalnya atau saat
terjadinya pembesaran prostat tidak ada gejala, sebab tekanan otot dapat
mengalami kompensasi untuk mengurangi resistensi uretra
b) Gejala obstruksi,
hesitensi, ukurannya mengecil dan menekan pengeluaran urine, adanya perasaan
berkemih tidak tuntas, dan retensi urine
c) Terdat gejala iritasi,
berkemih mendadak, sering, dan nokturia (Dr. Nursalam,2006)
6.
Komplikasi
a) Retensi urine akut dan involusi
kontraksi kandung kemih
b) Refluks kandung kemih, hidroureter,
dan hidronefrosis
c) Gros hematuria dan urinary tract
infection (UTI) (Dr. Nursalam, 2006)
7. Prosedur Diagnostk
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi
umumnya dilakukan pemeriksaan:
1.
LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan
biakan urin
2.
RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning,
cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila
fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau
trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui
pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli,
mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan
batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3.
Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung
kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat
melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi arineal Yaitu pembedahan dengan
kelenjar prostat
Untuk
menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain
1). Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.\
2) Pemeriksaan Fisik
1). Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.\
2) Pemeriksaan Fisik
1. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan
darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi
urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok
- septik.
2. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan
tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada
daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa
adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk
mengetahui ada tidaknya residual urin.
3. Penis dan uretra untuk mendeteksi
kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun
fimosis.
4. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan
adanya epididimitis
5. Rectal touch / pemeriksaan colok
dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko
uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari
BPH, yaitu :
a). Derajat I = beratnya lebih
kurang 20 gram.
b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c). Derajat III = beratnya > 40 gram.
3) Pemeriksaan Laboratorium
b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c). Derajat III = beratnya > 40 gram.
3) Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
- Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
- PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
4) Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah
melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan
uroflowmeter dengan penilaian :
a). Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b). Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c). Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
a). Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b). Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c). Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
5) Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a). BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
b). USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
c). IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
d) Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.
3. Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1). Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
2). Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen
3). Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a). Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b). Klien dengan residual urin > 100 ml.
c). Klien dengan penyulit.
d). Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e). Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
90 - 95®a). TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat % )
b). Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c). Perianal Prostatectomy
d). Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4). Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik .
8. Terapi dan penatalaksanaan keperawatan
Rencana
pengobatan bergantung pada penyebab,keparahan obstruksi dan kondisi pasien.Jika
pasien masuk ke rumahsakit dalam keadaan darurat karena ia tidak dapat berkemih
maka kateterisasi segera dilakukan.
Prostatektomi
untuk membuat jaringan prostat yang mengalami hiperplastik sering
dilakukan,terdapat juga pengobatan lain. Pengobatan ini mencangkup “watch- full
waiting,” insisis prostat transuretral (TUIP), dilatasi balon, penyekat alfa,
dan inhibitor 5-a-reduktase (AHCPR, 1994)
Watch-full
waiting adalah pengobatan yang sesuai bagi banyak pasien karena kecenderungan
progresi penyakit atau terjadinya komplikasi tidak diketahui. Pasien dipantau
secara periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan uji arulogi diagnostik(AHCPR,1994)
Penyekat
reseptor alfa-1-adrenergik (mis. Terazosin) melemaskan otot halus kolum kandung
kemih dan prostat.Meskipun kemanjuran jangka panjang preparat ini tidak
diketahui jangka panjang, preparat ini benar dapat menurunkan gejala pada
pasien. Riset tentang kegunaan jangka panjang preparat ini terus dilakukan
(AHCPR, 1994).
Salas satu
metode pengobatan mencangkup manipulasi hormonal dengan preparat antiandrogen
seperti finasteride(Proscar), Pada penelitian klinis inhibitor5a- reduktase
seperti finasteride terbukti efektif dalam mencegah perubahan testosteron
menjadi hidrotestosteron. (Brunner n Suddarth, 2002)
9. Asuhan
Keperawatan
1) Pengkajian
a) Data
subjektif
Gejala-gejala yang paling sering dan menimbulkan gangguan dari BPH adalah
disuri dan nuktoria. Orang ditanya tentang pola berkemih termasuk frekuensinya,
ragu- ragu,menetes-netes, jumlah ia harus bangun pada malam hari untuk
berkemih, kekuatan sistem perkemihan. Hesistancy/ragu-ragu beratri sukar untuk
memulai berkemih yang seringkali disertai dengan berkurangnya kekuatan aliran
kemih dan derasnya kemih. Orang harus ditanya apakah harus mengedan untuk
memulai atau mempertahankan aliran kemih.
Akibat infeksi saluran kemih dampak dari urin statis orang harus dikaji
apakah ia suka menggigil nyeri atau panas pada waktu berkemih.
b) Data
objektif pola berkemih
Pola berkemih dan jumlah urin yang keluar harus dicatat. Abdomen diatas
simpisis untuk mengetahui apakah terjadi retensi urin
c)
Pemeriksaan diagnostik
Analisa urin dilaksanakan untuk mengetahui adanya silinder, kristal-
kristal, sel darah, kultur urin harus dikirim untuk mengetahui hasilnya dalam
pengkajian infeksi
d) Cystoscopy/sistoskopi
Cystoscopy adalah pemeriksaan langsung dari kandung kemih dengan
menggunakan instrumen yang disebut cystoskop
e) Perawatan
Pra Prosedur
Pemberian cairan dipaksakan beberapa jam sebelum prosedur. Cara ini
menjamin aliran urin bila diperlukan spesimen untuk pemeriksaan dan membantu
mencegah multiplikasi bakteri yang termasukkan pada waktu pelaksanaan prosedur,
bila akan dilakukan radiografi pada waktu prrosedur diperlukan pengosongan
usus.
f)
Metoda
Bila pasien merasa nyaman dan santai cystoscopy bisa dimasukan dengan
lancar dan hanya disertaisedikit tidak nyaman, terutama bila tidak terdapat
obstruksi pada urethra.
g) Perawatan
pasca operasi
Harus diperhatikan bahwa orang tidak dapat berdiri atau berjalan sendiri
segera setelah cystoscopy. Darah yang mengalir pada waktu orang dalam posisi
lithotomi akan mengalir kembali ke pembuluh – pembuluh kaki atas dan bawah pada
waktu orang berdiri.
2) Diagnosa
Keperawatan
a)
Kebanyakan volume cairan berhubungan dengan mekanisme
regulatori berkompromi
b) Potensial
untuk infeksi berhubungan dengan statis urin
c)
Nyeri berhubungan dengan spasmus kandungn kencing,
retensi
d) Potensial
gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena tetesan air kemih
e)
Isolasi sosial berhubungan dengan kehilangan fungsi
berkemih
f)
Perubahan pola eliminasi berkemih berhubungan dengan
obstruksi anatomis, dan menetes, mendesak, frekuensi
g)
Retensi urin berhubungan dengan obstruksi
3) Perencanan
Hasil yang diharapkan dari pasien penderita BPH terdiri dari (tidak
terbatas) yang berikut:
a) Orang tetap
merasa nyaman
b) Pada orang
tidak terdapat tanda-tanda atau gejala retensi urin
c)
Kulit orang tetap utuh
d) Orang
menerangkan tentang kebutuhan prosedur- prosedur diagnostik yang diperlukan
4) Implementasi
a) Membantu
meraih tujuan terapi
Bila terjadi retensi urin biasanhya dipasang daun kateter untuk mengurangi
retenensi dan terus di biarkan bila tingkat obstruksinya berat. Infeksi saluran
kemih diobati dengan berbagai antibiotik. Bedah merupakan pengobatan utama
ubtuk BPH.
b) Mengusahakan
Kenyamanan
Nyeri akibat spasmus kandung kemih(baik sebelum maupun setelah bedah)
dikendalikan dengan analgesik yang dipesan atau dengan obat- obat antispasmodik
seperti preparat belladona, orang dihimbau untuk berkemih begitu ada
rangsan(baik sebelum maupun setelah bedah) dikendalikan dengan analgesik yang
dipesan atau dengan obat- obat antispasmodik seperti preparat belladona, orang
dihimbau untuk berkemih begitu ada rangsang dan mengosongkan kandung kemih tiap
kali berkemih
c)
Bedah
Pada waktu operasi kapsul kelenjar prostat dibiarkan utuh dan jaringan yang
seperti adoma diangkat dengan salah satu dari empat cara: transuretral,
suprapubis, retropubis atau parenial.
d) Prostatektomi
Transurethra
Reseksi prostat trans uretra dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada
lobus tengah yang langsung melingkari urethra.
e) Prostatektomi
Perineal
Pendekatan lewat perineal dilakukan guna menyakinkan dugaan kanker dari
prostat.
f)
Konsultasi dan Penyuluhan
Perawat harus memberi kesempatan pada waktu berinteraksi dengan pasien agar
pasien mengemukakan apa-apa yang dihayatinya.
5) Evaluasi
a) Apakah orang
itu terlihat nyaman?
b) Apakah pola
berkemih dari orang itu normal?
c) Apakah orang
itu dapat menerangkan tentang intervensi bedah yang diperlukan?
d) Apakah
ornang itu terlatih berlatih untuk mengembalikan fungsi otot-otot sfinkster?
e) Apakah orang
itu dapat menerangkan rasional potensional disfungsi seksual setelah bedah?
Daftar
Pustaka
Brunner & suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku
kedokteran
C.Long,Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung:
Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran
Swearingen. 2000. Kerawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku
Kedokteran
Nursalam. 2006. Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika
Arthur C. Guyton, dkk. 2006.
“Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Edisi 9. Jakarta : EGC