Hiperplasia prostat
1. Definisi Hiperplasia prostat
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994). Hyperplasia prostat adalah Pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (sumber:Rencana asuhan keperawatan marilynn deonges)
2. Etiologi hyperplasia prostat
Penyebab pembesaran hiperplasia tidak diketahui tetapi kemungkinan berhubungan dngan faktor-faktor hormonal. Dengan diketahuinya mekanisme membukanya vesical neck dan memancarkan urin pada saat buang air kecil (BAK), hiperplasia menyebabkan peningkatan resistensi outflow urin. Konsekuensinya, tekanan intravesicel yang lebih tinggi diperlukan untuk bisa BAK, menyebabkan hiperplasia vesica urinaria (VU) dan musculus trigonum. Hal ini menyebabkan terbentuknya divertikel pada VU—yaitu pembentukan kantung keluar dari mukosa VU di antara otot-otot detrussor. Hipertropi trigonum menyebabkan stres intravesicel ureter, sehingga menghasilkan obstruksi fungsional dan menyebabkan hydroureteronephrosis pada kasus yang telah lanjut. Stagnasi urin dapat menyebabkan infeksi; onset dari sistitis akan mencetuskan gangguan-gangguan obstruksi. Pembesaran prostat periuretra dan subtrigonal paling sering menyebabkan obstruksi yang signifikan
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor, transforming growth factor b1, transforming growth factor b2, dan epidermal growth factor.
3. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkuramgnya sel yang mati
4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
5.Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.(Sumber:Mcconnell Roehrborn 2007)
3. Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Hiperplasi prostat
↓
Penyempitan lumen uretra posterior
↓
Tekanan intravesikal ↑
Buli-buli Ginjal dan Ureter
o Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
o Trabekulasi - Hidroureter
o Selula - Hidronefrosis
o Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis
- Gagal ginjal
Pada hiperplasia terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.(Sumber:Doenges 2000)
4.Tanda dan Gejala
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.Gejalanya ialah:
o Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
o Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
o Miksi terputus (Intermittency)
o Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
o Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.(Sumber Reksoprodjo S.1995 Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah)
5.Komplikasi
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
• Perdarahan, Inkontinesia, Batu VU, Retensi urine, Impotensi, Epididimis, Hemoroid, hernia, prolaps rektum akibat mengedan, Infeksi saluran kemih disebabkan kateterisasi, Hidronefrosis
(sumber: Sjamsuhidajat, 2005 ).
6.Pencegahan
Beberapa upaya yang bisa ditempuh diantaranya mengkonsumsi makanan rendah lemak. Selain itu ada beberapa jenis makanan yang perlu ditingkatkan untuk mencegah datangnya penyakit prostate khususnya kanker yaitu Soy Iso Flavones, lycopene, selenium, vitamin E, teh hijau, anti androgen dan vitamin D.
7.Prosedur Diagnostik
pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan hyperplasia adalah :
a. Laboratorium
1). Sedimen Urin: Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2). Kultur Urin : Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pencitraan
1). Foto polos abdomen : Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2). IVP (Intra Vena Pielografi) : Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal) : Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4). Systocopy: Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
(Sumber:Deonges 1999)
8.Terapi dan penatalaksanaaan
dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a. Stadium I : Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II : Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III : Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV : Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. (Sumber : Sjamsuhidjat 2005)
9. Asuhan Keperawatan
A.PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
a. Sirkulasi : Pada kasus Hiperplasia sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan
b. Integritas Ego :Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c. Eliminasi :Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
d. Makanan dan cairan : Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e. Nyeri dan kenyamanan : Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f. Keselamatan/ keamanan : Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g. Seksualitas : Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
h. Laboratorium : Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
B. Diagnosa
1.Retensi urin b.d pembesaran prostat
2. Nyeri b.d distensi kandung kemih
3. Kekurangan volume cairan b.d pasca obstruksi diuresisdari drainase cepat kandung Kemih yang terlalu distensi secara kronis
C.Perencanaan
DX 1
· Rencana tindakan
1.Dorong pasien untuk berkemih taip 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
2.Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
3.Perkusi/palpasi area suprapubik
4.Berikan obat sesuai indikasi:antiposmodik,contoh,oksibutinin klorida (ditropan)
· Tujuan
1. Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Mengevaluasi obstuksi dan pilihan intervensi
3. Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik
4.Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter
DX 2
· Rencana tindakan
1.Kaji nyeri,perhatikan lokasi,intensitas ( skala 0-10 ) lamanya
2.Lakukan masase prostat
3.Berikan obat sesuai indikasi:Narkotik,contoh eperidin (demerol)
· Tujuan
1.Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan intervensi
2.Membantu dalam evakuasi duktus kelenjar untuk menghilangkan kongesti/imflamasi
3.Untuk menghilangkan nyeri berat,memberikan relaksasi mental dan fisik
DX 3
· Rencana tindakan
1.Awasi keluaran dengan hati-hati,tiap jam bila diindikasikan.perhatikan keluaran 100-200 ml/jam
2.Awasi elektrolit,khususnya natrium
3.Berikan cairan IV (gram faal hipertonik ) sesuai kebutuhan
· Tujuan
1.Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan.karena ketidak cukupan jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal
2.Bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraselular,natrium dapat mengikuti perpindahan,menyebabkan hiponatremia
3.Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/memperbaiki hipovolemia
D.Evaluasi
1.Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih
2.Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan tampak rileks
3.Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil,nadi perifer
teraba,pengisian kapiler baik,dan membran mukosa lembab
(sumber:Rencana asuhan keperawatan marilynn deonges)