Saturday, September 28, 2013

ASKEP BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI



BPH (Benigna Prostat Hipertropi)
1.      Pengertian
·         BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat (Barbara c. Long,2001)
·         Benigna Hipertropi Prostat adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter (Arifyanto D,2008).
·          Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran non-kanker (noncancerous) dari kelenjar prostat (prostate gland) yang dapat membatasi aliran urin (kencing) dari kandung kemih (bladder) (Adel,2008).
·         BPH merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun(Bruner & Suddarth, 2002)
·         BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria(Dr. Nursalam, 2006)
 Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Hipertropi prostat (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang menyumbat aliran keluar urine dan dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter

2.     Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPh sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan (Adel, 2008), Menurut Smeltzer (2002), apa yang menjadi penyebab terjadinya pembesaran kelenjar prostat ini masih tetap menjadi mesteri, masih belum diketahui pasti, tetapi banyak juga teori yang ditegakan untuk BPH ini seperti:
a)      Teori tumor jinak (karena komponennya)
b)      Teori rasial dan factor social,
c)      Teori infeksi dan zat- zat yang belum diketahui,
d)       Teori yang berhubungan dengan aktifitas seks dan,
e)      Teori ketidakseimbangan hormonal.
Pendapat terakhir ini sering dipakai yaiti terjadinya ketidakseimbangan antara hormonal androgen turun maka terjadi ketidakseimbangan estrogen menjadi lebih banyak secara relatif ataupun secara absolut dan ini menyebabkan prostat membesar.


3.    Klasifikasi
Menurut Rumahorbo (2000 : 71), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu sebagai berikut :
a. Derajat Rektal
Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah rektum. Rectal toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri bila ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan batas atas teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram.
Ukuran dari pembesaran kelenjar prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :
1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm
2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm
3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm
4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm
5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm
Gejala BPH tidak selalu sesuai dengan derajat rectal, kadang-kadang dengan rectal toucher tidak teraba menonjol tetapi telah ada gejala, hal ini dapat terjadi bila bagian yang membesar adalah lobus medialis dan lobus lateralis. Pada derajat ini klien mengeluh jika BAK tidak sampai tuntas dan puas, pancaran urine lemah, harus mengedan saat BAK, nocturia tetapi belum ada sisa urine.
b. Derajat Klinik
Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai selesai dan puas, kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urine. Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :
1). Normal sisa urine adalah nol
2). Derajat I sisa urine 0-50 ml
3). Derajat II sisa urine 50-100 ml
4). Derajat III sisa urine 100-150 ml
5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali.
Bila kandung kemih telah penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.
c. Derajat Intra Vesikal
Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram, panendoscopy. Bila lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada stadium tida derajat intra vesikal. Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.
d. Derajat Intra Uretral
Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai seberapa jauh lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.


4.     Patofisiologi
a)    Prosen penuaan dan adanya sirkulasi androgen membutuhkan perkembangan BPH.
b)    Bentuk nodular jaringan prostat mengalami pembesaran
c)    Normalnya jaringan yang tipis dan fibrous pada permukaan kapsul prostat menjadi spons menebal dan membesar
d)    Uretra protastik menjadi tertekan dan sempit menyebabkan kandung kemih menjadi kencang untuk bekerja lebih keras mengeluarkan urine
e)    Efek obstruksi yang lama menyebabkan tegangan dinding kandung kemih dan menurun elastisitasnya (Dr. Nursalam,2006)

 Penyebab BPH belum diketahui secara pasti tetapi beberapa literatur menyebutkan bahawa BPH kemungkinan disebabkan oleh perubahan hormon, terutama hormon testosteron. Homon testosteron dapat mempengaruhi pertumbuhan prostat sehingga dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron estrogen karena jumlah atau produksi hormon testoteron berkurang dan terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan penelitian bagian yang peka terhadap hormon estrogen adalah bagian tengah dan bagian yang peka terhadap hormon androgen bagian tepi dengan demikian pada orang tua bagian tengah yang mengalami pembesaran hal ini disebabkan hormon androgen berkurang sedangkan estrogen bertambah relatif. Akibat dari perubahan hormon tersebut jaringan stromal dan elemen glandular mengalami hiperplasia (Samsuhidajat, 2004 : 782).


5.    Manifestasi Klinis
a)     Pada awalnya atau saat terjadinya pembesaran prostat tidak ada gejala, sebab tekanan otot dapat mengalami kompensasi untuk mengurangi resistensi uretra
b)     Gejala obstruksi, hesitensi, ukurannya mengecil dan menekan pengeluaran urine, adanya perasaan berkemih tidak tuntas, dan retensi urine
c)      Terdat gejala iritasi, berkemih mendadak, sering, dan nokturia (Dr. Nursalam,2006)

6.    Komplikasi
a)      Retensi urine akut dan involusi kontraksi kandung kemih
b)      Refluks kandung kemih, hidroureter, dan hidronefrosis
c)      Gros hematuria dan urinary tract infection (UTI) (Dr. Nursalam, 2006)

7.     Prosedur Diagnostk
          Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. LaboratoriumMeliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin
2. RadiologisIntravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
3. Prostatektomi Retro PubisPembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
4. Prostatektomi arineal Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain
1). Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi, frekuensi serta disuria.\
2) Pemeriksaan Fisik
1.  Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
2.  Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
3.  Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
4.   Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
5.  Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a). Derajat I = beratnya lebih kurang 20 gram.
       b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
       c). Derajat III = beratnya > 40 gram.

3) Pemeriksaan Laboratorium
  • Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
  • Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
  • PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.

4) Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a). Flow rate maksimal
> 15 ml / dtk = non obstruktif.
b). Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c). Flow rate maksimal
< 10 ml / dtk = obstruktif.

5) Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a). BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
b). USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
c). IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis.
d) Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.


3. Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1). Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
2). Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen
3). Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a). Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b). Klien dengan residual urin
> 100 ml.
c). Klien dengan penyulit.
d). Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e). Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
 90 - 95
®a). TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat  % )
b). Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c). Perianal Prostatectomy
d). Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4). Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik .

8.    Terapi dan penatalaksanaan keperawatan
       Rencana pengobatan bergantung pada penyebab,keparahan obstruksi dan kondisi pasien.Jika pasien masuk ke rumahsakit dalam keadaan darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera dilakukan.
       Prostatektomi untuk membuat jaringan prostat yang mengalami hiperplastik sering dilakukan,terdapat juga pengobatan lain. Pengobatan ini mencangkup “watch- full waiting,” insisis prostat transuretral (TUIP), dilatasi balon, penyekat alfa, dan inhibitor 5-a-reduktase (AHCPR, 1994)
                   Watch-full waiting adalah pengobatan yang sesuai bagi banyak pasien karena kecenderungan progresi penyakit atau terjadinya komplikasi tidak diketahui. Pasien dipantau secara periodik terhadap keparahan gejala, temuan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan uji arulogi diagnostik(AHCPR,1994)
       Penyekat reseptor alfa-1-adrenergik (mis. Terazosin) melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan prostat.Meskipun kemanjuran jangka panjang preparat ini tidak diketahui jangka panjang, preparat ini benar dapat menurunkan gejala pada pasien. Riset tentang kegunaan jangka panjang preparat ini terus dilakukan (AHCPR, 1994).
       Salas satu metode pengobatan mencangkup manipulasi hormonal dengan preparat antiandrogen seperti finasteride(Proscar), Pada penelitian klinis inhibitor5a- reduktase seperti finasteride terbukti efektif dalam mencegah perubahan testosteron menjadi hidrotestosteron. (Brunner n Suddarth, 2002)

9.         Asuhan Keperawatan  
1)    Pengkajian
a)     Data subjektif
Gejala-gejala yang paling sering dan menimbulkan gangguan dari BPH adalah disuri dan nuktoria. Orang ditanya tentang pola berkemih termasuk frekuensinya, ragu- ragu,menetes-netes, jumlah ia harus bangun pada malam hari untuk berkemih, kekuatan sistem perkemihan. Hesistancy/ragu-ragu beratri sukar untuk memulai berkemih yang seringkali disertai dengan berkurangnya kekuatan aliran kemih dan derasnya kemih. Orang harus ditanya apakah harus mengedan untuk memulai atau mempertahankan aliran kemih.
Akibat infeksi saluran kemih dampak dari urin statis orang harus dikaji apakah ia suka menggigil nyeri atau panas pada waktu berkemih.
b)     Data objektif pola berkemih
Pola berkemih dan jumlah urin yang keluar harus dicatat. Abdomen diatas simpisis untuk mengetahui apakah terjadi retensi urin
c)      Pemeriksaan diagnostik
Analisa urin dilaksanakan untuk mengetahui adanya silinder, kristal- kristal, sel darah, kultur urin harus dikirim untuk mengetahui hasilnya dalam pengkajian infeksi
d)     Cystoscopy/sistoskopi
Cystoscopy adalah pemeriksaan langsung dari kandung kemih dengan menggunakan instrumen yang disebut cystoskop
e)     Perawatan Pra Prosedur
Pemberian cairan dipaksakan beberapa jam sebelum prosedur. Cara ini menjamin aliran urin bila diperlukan spesimen untuk pemeriksaan dan membantu mencegah multiplikasi bakteri yang termasukkan pada waktu pelaksanaan prosedur, bila akan dilakukan radiografi pada waktu prrosedur diperlukan pengosongan usus.
f)       Metoda
Bila pasien merasa nyaman dan santai cystoscopy bisa dimasukan dengan lancar dan hanya disertaisedikit tidak nyaman, terutama bila tidak terdapat obstruksi pada urethra.
g)     Perawatan pasca operasi
Harus diperhatikan bahwa orang tidak dapat berdiri atau berjalan sendiri segera setelah cystoscopy. Darah yang mengalir pada waktu orang dalam posisi lithotomi akan mengalir kembali ke pembuluh – pembuluh kaki atas dan bawah pada waktu orang berdiri.
2)    Diagnosa Keperawatan
a)      Kebanyakan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulatori berkompromi
b)     Potensial untuk infeksi berhubungan dengan statis urin
c)      Nyeri berhubungan dengan spasmus kandungn kencing, retensi
d)     Potensial gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena tetesan air kemih
e)      Isolasi sosial berhubungan dengan kehilangan fungsi berkemih
f)       Perubahan pola eliminasi berkemih berhubungan dengan obstruksi anatomis,  dan  menetes, mendesak, frekuensi
g)      Retensi urin berhubungan dengan obstruksi
3)     Perencanan
Hasil yang diharapkan dari pasien penderita BPH terdiri dari (tidak terbatas) yang berikut:
a)     Orang tetap merasa nyaman
b)     Pada orang tidak terdapat tanda-tanda atau gejala retensi urin
c)      Kulit orang tetap utuh
d)     Orang menerangkan tentang kebutuhan prosedur- prosedur diagnostik yang diperlukan
4)     Implementasi
a)     Membantu meraih tujuan terapi
Bila terjadi retensi urin biasanhya dipasang daun kateter untuk mengurangi retenensi dan terus di biarkan bila tingkat obstruksinya berat. Infeksi saluran kemih diobati dengan berbagai antibiotik. Bedah merupakan pengobatan utama ubtuk BPH.
b)     Mengusahakan Kenyamanan
Nyeri akibat spasmus kandung kemih(baik sebelum maupun setelah bedah) dikendalikan dengan analgesik yang dipesan atau dengan obat- obat antispasmodik seperti preparat belladona, orang dihimbau untuk berkemih begitu ada rangsan(baik sebelum maupun setelah bedah) dikendalikan dengan analgesik yang dipesan atau dengan obat- obat antispasmodik seperti preparat belladona, orang dihimbau untuk berkemih begitu ada rangsang dan mengosongkan kandung kemih tiap kali berkemih
c)      Bedah
Pada waktu operasi kapsul kelenjar prostat dibiarkan utuh dan jaringan yang seperti adoma diangkat dengan salah satu dari empat cara: transuretral, suprapubis, retropubis atau parenial.
d)     Prostatektomi Transurethra
Reseksi prostat trans uretra dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari urethra.
e)     Prostatektomi Perineal
Pendekatan lewat perineal dilakukan guna menyakinkan dugaan kanker dari prostat.
f)       Konsultasi dan Penyuluhan
Perawat harus memberi kesempatan pada waktu berinteraksi dengan pasien agar pasien mengemukakan apa-apa yang dihayatinya.
5)     Evaluasi
a)    Apakah orang itu terlihat nyaman?
b)    Apakah pola berkemih dari orang itu normal?
c)    Apakah orang itu dapat menerangkan tentang intervensi bedah yang diperlukan?
d)    Apakah ornang itu terlatih berlatih untuk mengembalikan fungsi otot-otot sfinkster?
e)    Apakah orang itu dapat menerangkan rasional potensional disfungsi seksual setelah bedah?

Daftar Pustaka
Brunner & suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku kedokteran
C.Long,Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran
Swearingen. 2000. Kerawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran
Nursalam. 2006. Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
Arthur C. Guyton, dkk. 2006. “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”. Edisi 9. Jakarta : EGC


Anatomi Fisiologi Reproduksi Wanita

Sistem reproduksi manusia baik pria maupun wanita memiliki struktur organ internal dan eksternalnya masing- masing. Setiap organ dalam sist...