Friday, December 30, 2011

LP: Hiperplasia Prostat


Hiperplasia prostat
1. Definisi Hiperplasia prostat
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi  berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994). Hyperplasia prostat adalah Pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius. (sumber:Rencana asuhan keperawatan marilynn deonges)
2. Etiologi hyperplasia prostat
Penyebab pembesaran hiperplasia tidak diketahui tetapi kemungkinan berhubungan dngan faktor-faktor hormonal. Dengan diketahuinya mekanisme membukanya vesical neck dan memancarkan urin pada saat buang air kecil (BAK), hiperplasia menyebabkan peningkatan resistensi outflow urin. Konsekuensinya, tekanan intravesicel yang lebih tinggi diperlukan untuk bisa BAK, menyebabkan hiperplasia vesica urinaria (VU) dan musculus trigonum. Hal ini menyebabkan terbentuknya divertikel pada VU—yaitu pembentukan kantung keluar dari mukosa VU di antara otot-otot detrussor. Hipertropi trigonum menyebabkan stres intravesicel ureter, sehingga menghasilkan obstruksi fungsional dan menyebabkan hydroureteronephrosis pada kasus yang telah lanjut. Stagnasi urin dapat menyebabkan infeksi; onset dari sistitis akan mencetuskan gangguan-gangguan obstruksi. Pembesaran prostat periuretra dan subtrigonal paling sering menyebabkan obstruksi yang signifikan
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1.       Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2.       Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor, transforming growth factor b1, transforming growth factor b2, dan epidermal growth factor.
3.       Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkuramgnya sel yang mati
4.       Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
5.Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.(Sumber:Mcconnell Roehrborn 2007)
3. Patofisiologi BPH
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

Hiperplasi prostat
Penyempitan lumen uretra posterior
Tekanan intravesikal
Buli-buli Ginjal dan Ureter
o    Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
o    Trabekulasi - Hidroureter
o    Selula - Hidronefrosis
o    Divertikel buli-buli - Pionefrosis Pilonefritis
- Gagal ginjal
Pada hiperplasia terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.(Sumber:Doenges 2000)
4.Tanda dan Gejala
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.Gejalanya ialah:
o Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
o Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
o Miksi terputus (Intermittency)
o Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
o Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.(Sumber Reksoprodjo S.1995 Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah)

5.Komplikasi

     Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis

• Perdarahan, Inkontinesia, Batu VU, Retensi urine, Impotensi,  Epididimis, Hemoroid, hernia, prolaps rektum akibat mengedan, Infeksi saluran kemih disebabkan kateterisasi, Hidronefrosis

     (sumber: Sjamsuhidajat, 2005 ).

6.Pencegahan
    Beberapa upaya yang bisa ditempuh diantaranya mengkonsumsi makanan rendah lemak. Selain itu ada beberapa jenis makanan yang perlu ditingkatkan untuk mencegah datangnya penyakit prostate khususnya kanker yaitu Soy Iso Flavones, lycopene, selenium, vitamin E, teh hijau, anti androgen dan vitamin D.

7.Prosedur Diagnostik

pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan hyperplasia adalah :

a. Laboratorium
1). Sedimen Urin: Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2). Kultur Urin : Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b. Pencitraan
1). Foto polos abdomen : Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2). IVP (Intra Vena Pielografi) : Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal) : Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4). Systocopy: Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
(Sumber:Deonges 1999)

8.Terapi dan penatalaksanaaan

dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I : Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b. Stadium II : Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III : Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV : Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH. (Sumber : Sjamsuhidjat 2005)

9. Asuhan Keperawatan 

A.PENGKAJIAN

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :

a.       Sirkulasi : Pada kasus Hiperplasia sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan

b.       Integritas Ego :Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

c.        Eliminasi :Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.

d.       Makanan dan cairan : Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.

e.       Nyeri dan kenyamanan : Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.

f.         Keselamatan/ keamanan : Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.

g.       Seksualitas : Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.

h.        Laboratorium : Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

B. Diagnosa
1.Retensi urin b.d pembesaran prostat
2. Nyeri b.d distensi kandung kemih
3. Kekurangan volume cairan b.d pasca obstruksi diuresisdari drainase cepat kandung Kemih yang terlalu distensi secara kronis
C.Perencanaan
     DX 1
·         Rencana tindakan
1.Dorong pasien untuk berkemih taip 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
2.Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
3.Perkusi/palpasi area suprapubik
4.Berikan obat sesuai indikasi:antiposmodik,contoh,oksibutinin klorida (ditropan)
·         Tujuan
1. Meminimalkan retensi urin distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Mengevaluasi obstuksi dan pilihan intervensi
3. Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubik
4.Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter
DX 2
·         Rencana tindakan
1.Kaji nyeri,perhatikan lokasi,intensitas ( skala 0-10 ) lamanya
2.Lakukan masase prostat
3.Berikan obat sesuai indikasi:Narkotik,contoh eperidin (demerol)
·         Tujuan
1.Memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan/keefektifan intervensi
2.Membantu dalam evakuasi duktus kelenjar untuk menghilangkan kongesti/imflamasi
3.Untuk menghilangkan nyeri berat,memberikan relaksasi mental dan fisik
DX 3
·         Rencana tindakan
1.Awasi keluaran dengan hati-hati,tiap jam bila diindikasikan.perhatikan keluaran 100-200 ml/jam
2.Awasi elektrolit,khususnya natrium
3.Berikan cairan IV (gram faal hipertonik ) sesuai kebutuhan
·         Tujuan
1.Diuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan.karena ketidak cukupan jumlah natrium diabsorpsi dalam tubulus ginjal
2.Bila pengumpulan cairan terkumpul dari area ekstraselular,natrium dapat mengikuti perpindahan,menyebabkan hiponatremia
3.Menggantikan kehilangan cairan dan natrium untuk mencegah/memperbaiki hipovolemia
D.Evaluasi
            1.Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih
            2.Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan tampak rileks
            3.Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil,nadi perifer  
                teraba,pengisian kapiler baik,dan membran mukosa lembab
(sumber:Rencana asuhan keperawatan marilynn deonges)

10. Daftar Pustaka

o   Sabiston, David C. 1994. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC

o   Brunner & suddart1997.buku ajar keperawatan medical bedah vol .2.E/8.penerbit buku Kedokteran EGC

o   Roehrborn, Mcconnell.2007 Benign Prostatic Hyperplasia. Wein. Campbell-Walsh Urology. 9th edition. Philadelphia : Saunders.

o   Reksoprodjo S.1995 Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan   pertama.Jakarta:BinarupaAksara,

o   Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geisster, AC, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan dan      Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Alih Bahasa : I Mode Kariasa dan Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC.




Tuesday, December 27, 2011

Manfaat ASI

ASI Dapat Mencegah Infeksi pada Neonatus




Berdasarkan data WHO, pada tahun 2000, hanya15% bayi diberi ASI eksklusif selama 4 bulan, dan pemberian makanan pendamping ASI seringkali tidak sesuai dan tidak aman.
Sejak tahun 1982 literatur medis telah mendata bahwa air susu tiap mamalia termasuk manusia punya daya proteksi terhadap turunannya karena mengandung antibodi terhadap berbagai antigen. Bayi yang tidak pernah mendapat ASI dua kali lebih sering masuk rumah sakit dibanding yang dapat ASI. Banyak penelitian memperlihatkan ASI mengandung antibodi terhadap berbagai bakteri, virus, dan protozoa.

 

Faktor Protektif ASI

Sistem imunologi neonatus belum terbentuk sempurna, hingga pemberian ASI memegang peranan penting untuk mencegah infeksi. Immunoglobulin utama dalam ASI adalah IgA sebagai respon dari limfosit usus hingga mencerminkan antigen enterik dan respiratorik ibu.
Dalam air susu ibu juga terdapat kandungan faktor non imunologik, ,yang berperan sebagai faktor protektif serta menunjang pertumbuhan dan pematangan sistem imun dan metabolik. Serta berbagai komponen anti inflamasi, hormon (insulin, tiroksin, dan faktor pertumbuhan saraf) yang tak terdapat dalam susu formula.
Berbagai penelitian epidemiologik menunjukkan ASI pada bayi punya keuntungan terhadap kesehatan pada umumnya, pertumbuhan, perkembangan, dan pengurangan risiko terkena penyakit akut dan kronik. ASI mengurangi kejadian dan atau beratnya diare, infeksi paru bagian bawah, otitis media, sepsis, meningitis bakterialis, botulismus, infeksi saluran urogenitalis, dan enterokolitis nekrotikans. Seperti dilaporkan, hampir 90% kematian balita terjadi di negara berkembang dan lebih dari 40% kematian disebabkan diare dan ISPA, penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian ASI eksklusif.

 

Zat protektif ASI

Komponen Selular

Sel dalam ASI misalnya makrofag, limfosit, neutrofil, dan sel epitel, berjumlah sekitar 4000/mm3. Jumlah ini akan cepat menurun setelah 2-3 bulan. Leukosit ASI terutama terdiri dari makrofag (90%) dibandingkan dengan neutrofil dan limfosit
Makrofag, Makrofag adalah sel fagosit besar yang mengandung lisosom, mitokondria, pinosom, dan aparat Golgi. Yang berfungsi untuk memfagositosis mikroorganisme bakteri dan jamur, membuat C3 dan C4, lisosom, dan laktoferin, membantu pelepasan IgA intraselular ke jaringan, membentuk sel raksasa, meningkatkan aktivitas limfosit, membantu pengangkutan dan penyimpanan imunoglobulin, dan berpartisipasi dalam pembentukan laktoperidase; suatu faktor pertumbuhan sel epitel usus dan maturasi enzim dalam brush border usus
Leukosit polimorfonuklear (PMN), Sebanyak 5 juta leukosit/mm3 dan 40-60% yang terkandung dalam kolostrum ( hari 1- 4 postpartum) diantaranya adalah PMN yang makin menurun seiring maturnya ASI. Fungsi PMN terutama proteksi jaringan kelenjar mama dan bukan untuk proteksi neonatus.
Limfosit ,Fungsi limfosit antara lain Mensintesis IgA, merespon mitogen dengan cara berproliferasi, meningkatkan interaksi makrofag-limfosit, dan melepaskan mediator-mediator, limfosit T dan B merupakan bagian sistem imun ASI yang terdapat dalam kolostrum dan ASI matur. Di dalam ASI, sel B termasuk sel yang mengandung IgA, IgG, dan IgM Surface immunoglobulin. Limfosit ASI akan berespon terhadap antigen rubela, sitomegalovirus, dan mumps. Kolostrum ibu juga berespon terhadap bakteri E.coli.

 

Komponen humoral

Komposisi imunoglobulin dalam ASI berbeda degan serum. ASI mengandung IgA jauh lebih tinggi daripada serum. IgA dan IgG dalam ASI sebagian berasal dari IgA dan IgG serum, sebagian lagi dari kelenjar payudara.
Imunoglobulin A dalam ASI terutama IgA sekretori yang stabil dalam pH rendah dan tahan terhadap enzim proteolitik. Fungsi IgA adalah untuk memproteksi mukosa usus terhadap virus dan bakteri, dan tetap ditemukan dalam ASI setelah satu tahun. Selain itu, faktor antibakterial dalam kolostrum dan ASI sama antara wanita dengan gizi baik maupun buruk.

 

Komponen non imunoglobulin

Faktor bifidus , Telah diketahui bahwa usus bayi mengandung laktobasilus bifidus yang merupakan bakteri baik usus, juga mengandung faktor bifidus yang menunjang pertumbuhan kuman baik ini yang tak ada dalam susu sapi.
Antistaphylococcal factor , Pada percobaan binatang dengan tikus yang diberi infeksi Staphylococcus dibuktikan ASI mengandung substansi yang dapat mencegah bayi dari infeksi Staphylococcus.
Lisozim , Lisozim adalah enzim yang memiliki sifat bakteriolitik, berada dalam konsentrasi tinggi dalam ASI tapi sangat rendah dalam susu sapi. Enzim ini bersifat bakteriolitik terhadap enterobaktericeae dan bakteri gram positif.
Nukleotid , Nukleotid adalah senyawa yang berasal dari hidrolisis asam nukleat yang bekerja sebagai pertahanan terhadap berbagai bakteri, virus, dan parasit. Carver pada penelitiannya membuktikan bahwa aktivitas sel NK dan produksi IL 2 lebih tinggi pada bayi usia 2-4 bulan yang diberi ASI dan susu formula ditambahkan nukleotid dibandingkan formula tanpa tambahan nukleotid
Laktoferin, Laktoferin bersifat bakteriostatik terhadap berbagai bakteri gram positif, bakteri gram negatif baik aerob maupun anaerob , dan jamur, kecuali Helicobakcter pylori dan spesies Neisseria, Treponema, dan Shigella. Laktoferin adalah protein yang dapat mengikat zat besi, mirip dengan transferin dalam serum. Laktoferin mengikat zat besi hingga bakteri tidak memperoleh zat besi untuk pertumbuhannya. Afinitas terhadap zat besi adalah 300 kali transferin. Laktoferin juga meningkatkan pelepasan sitokinin dari sel dan menekan pelepasan IL1, IL2 dan TNF alpha.
Interferon, Secara in vitro, diketahui interferon diproduksi oleh sel T dalam ASI. Fungsinya memang belum diketahui pasti, tapi interferon dapat meningkatkan fungsi makrofag dan menekan produksi IgE dan IL-10.
Komplemen , ASI mengandung komponen C3 dan C4 walau dalam jumlah sedikit. C3 teraktivasi oleh IgA dan IgE yang diketahui dapat merusak bakteri yang terikat pada antibodi spesifik.
Protein pengikat vitamin B12 , ASI mengandung sejenis protein bermolekul besar yang mengikat vitamin B12. Secara tak langsung, protein ini menghambat pertumbuhan E.coli yang memerlukan vitamin B12.
Gangliosid , Gangliosid adalah glikolipid yang terdapat dalam plasma sel membran terutama di substansi kelabu otak. Gangliosid memblokir aktivitas enterotoksin E.coli dan Vibrio cholerae dan Campylobacter jejuni di usus dengan cara mengikat toksin dan membentuk kompleks stabil yang mencegah toksin terikat pada sel usus.
Interleukin , Interleukin berefek terhadap aktifasi dan diferensiasi limfosit, serta terhadap produksi berbagai sel lainnya.
Sitokin , Sitokin adalah salah satu substansi yang banyak diteliti akhir-akhir ini. Meski sudah lama diduga keberadaannya dan perannya terhadap imunologi serta proteksi ASI.

 

Simpulan Bayi mendapat perlindungan dari ibu sejak kandungan. Saat janin, plasenta yang mengambil peran ini, tetapi setelah lahir ASI sudah siap menggantikannya. ASI mengandung banyak zat protektif berupa komponen selular, imunoglobulin dan non imunoglobulin yang memberikan proteksi terhadap bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Sudah seharusnya semua bayi baru lahir diberikan ASI.

 

Referensi

  1. WHO 2000. Dalam: Kramer MS, Kakuma R, penyunting. The Optimal Duration of Exclusive Breast feeding a systematic Review. WHO/HHD/01.08
  2. Hanson LA. The Mammary Gland as an immunological organ. Immunol Today 1982; 3: 168
  3. Hamosh M. Bioactive Factors In Human Milk. Mammary Gland Biol Lactation Newslett. 2001; 48:69-86
  4. Aarifen S, Black RE, Antelman G, et al. Exclusive Breast feeding Reducves Acute Respiratory Infection and Diarhea Deaths among infants in Dhaka Slums. Pediatrics 2001; 108-67.
  5. Heine W, Braun OH, Mohr C. Enhancement of LysozymTrypsin mediated decay of intestinal bifidobacteria and lactolbacilli. J. Pediatr Gastroenterol Nutr 1995; 21: 54

Instability Pada Lansia, Perlu Perhatian Khusus.

By: Anajem/130411

Penanganan khusus bagi lansia seharusnya menjadi perhatian tersendiri. Proses penuaan yang terjadi secara fisiologis dapat berdampak secara psiko-sosio-cultural dan spiritual. Penerapannya pada asuhan keperawatan lansia dengan penekanan dan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan pemeliharaan lansia. Penampilan penyakit pada lansia sering berbeda dengan pada dewasa musa, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan – kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secra perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas termasuk infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Masalah kesehatan yang terjadi pada lansia dapat berdampak pada segi psikologisnya, seperti Instability (Jatuh), Jatuh sering terjadi atau dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan didalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkoppe dan dizzines, serta faktor ekstrinsik seperti lantai yang licin dan tidak rata, tersandung benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang, dan sebagainya.
Jumlah obat yang diminum sangat berpengaruh bagi lansia. Terjatuh akibat terapi obat dinamakan roboh iatrogenik. Beberapa jenis obat – obatan tertentu dapat meningkatkan resiko terjatuh, di antaranya obat golongan sedatif dan hip notik yang dapat mengganggu stabilitas postur tubuh, yang mengakibatkan efek samping menyerupai sindroma parkinson. Obat-obatan lain yang menyebabkan hipotensi, hipoglikemi, mengganggu vestibular, menyebabkan neuropati hipotermi dan menyebabkan kebingungan. Transquilizer mayor (misalnya phenothiazine), antidepresan trisiklik, barbiturat, dan benzodiazepin kerja panjang.
Akibat yang paling sering terjadi pada lansia karena terjatuh adalah kerusakan bagian tertentu sehingga menimbulkan rasa sakit, patah tulang, cedera pada kepala. Selain itu terjatuh, akan membuat lansia lebih berhati – hati dan membatasi pergerakannya. Terjatuh pada lansia dapat menyebabkan gangguan psikologik berupa hilangnya harga diri dan perasaaan takut akan terjatuh lagi, sehingga cenderung untuk takut saat berjalan. Perubahan – perubahan yang terjadi pada lansia tersebut dapat menjadi salah satu pemicu depresi pada lansia
^_^

Anatomi Fisiologi Reproduksi Wanita

Sistem reproduksi manusia baik pria maupun wanita memiliki struktur organ internal dan eksternalnya masing- masing. Setiap organ dalam sist...